Diskusi: Calon Menteri Kesehatan

Diskusi:

Calon Menteri Kesehatan

 

Diskusi dimulai oleh Anjari Umarjianto dengan memasukkan bahan berupa kliping dari Kompas.com yang berisi janji Ibu Ribka Ciptaning kalau jadi Menteri. Masukan ini dibahas oleh banyak pihak. Silahkan mengikuti:

Anjari Umarjianto: Ini Janji Ribka jika Ditunjuk Jadi Menteri Kesehatan oleh Jokowi

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi IX DPR sekaligus salah satu kandidat Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, berjanji akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait pemidanaan terhadap pengelola rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien yang sakit. Hal itu akan dilakukannya jika Joko Widodo resmi menjadi presiden dan dirinya ditunjuk menjadi Menkes.

"Pasal 32 Undang-Undang (Nomor 36 Tahun 2009 tentang) Kesehatan itu sudah mengatur kedaulatan rakyat, pidana kepada yang menolak melayani pasien. Tapi belum ada PP-nya. Itu yang membedakan kita nanti," ujar Ribka di Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Jakarta Pusat, Selasa (29/7/2014).

Ia mengatakan, UU yang ada saat ini sudah cukup mengatur hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan, di lembaga pelayanan kesehatan mana pun. Namun, kata dia, belum ada peraturan pelaksana yang mendukung UU tersebut untuk menjamin penegakan hukumnya.

Oleh karena itu, rumah sakit (RS) atau tenaga kesehatan masih abai pada pelayanan pasien. Ia mengatakan, jika ada PP soal pemidanaan penolakan pasien, maka tidak ada lagi RS atau tenaga kesehatan yang berani menolak pasien meski tidak punya uang untuk biaya RS.

"Kalau ada sanksi, ada efek jera, tidak ada lagi yang berani menolak. Karena tenaga kesehatan itu sumpahnya mengedepankan kemanusiaan," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Pasal 32 dan Pasal 190 UU Kesehatan mengatur, RS atau tenaga kesehatan yang menolak melayani pasien dipidana penjara maksimal dua tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Jika penolakan itu menyebabkan kematian pasien, maka RS atau tenaga kesehatan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. 

 

Tanggapan Achmad Haryadi

Dear all,
Dengan statemen tsb kita jadi tahu bahwa kalau beliau jadi Menteri Kesehatan, akan fokus pada UKP (upaya kes perorangan). Padahal menkes yang akan datang diharapkan memberikan perhatian lebih pd pengembangan UKM (upaya kes masyarakat).  Ada 34 daerah provinsi dan sekitar 500 daerah kab/kota. Sebagai daerah otonom, mereka butuh pedoman dan pembinaan dalam implementasi otonomi kes di Daerah. Yang baru disediakan adalah pembagian urusan antara pusat dan daerah, belum tentang bagaimana urusan pemerintah yang dibagikan tersebut di proses menjadi wewenang daerah, bagaimana organisasi penyelenggaraannya, bagaimana sistem operasinya, serta bagaimana tenaga dan pembiayaannya. Hal ini jadi penting utk penggerakkan UKM pada 34 kesehatan provinsi dan 500 kesehatan kab/kota. Bagaimana dinkes sebagai penanggung jawab penyelenggaraan otonomi kesehataan daerah akan mengembangkan UKM secara terintegrasi dan mengalokasikan pembiayaan UKM.
Pada akhirnya urusan pembinaan bidang kesehatan adalah tanggung jawab menkes (walaupun diselenggarakan secara otonomi). Disisi lain, kemampuan daerah tidak sama, sehingga perlu kebijakan khusus tentang bantuan pembiayaan dari pemerintah pusat (DAK, TP, HIBAH dll) untuk UKM dalam setting tersebut (bahwa urusan kesehatan tanggung jawab presiden melalui menkes).
Karena pengelolaan keu Daerah sudah di atur oleh Kemdagri, pengelolaan organisasi Daerah juga sudah diatur oleh KemPAN, maka menkes perlu memahami hal tsb dan membangun kerjasama erat dg kedua kementerian tsb.
Walhasil, banyak PR yg perlu di kerjakan bersama 5 tahun kedepan untuk mengefektifkan implementasi UKM di Daerah. Welcome Menkes yang UKM oriented.
Salam...

Tanggapan balik Pak Anjari

Sepakat dg pak ahmad hariyadi jika Bu Ribka itu UKP banget.. Contohnya krmarin ketika ditanya bagaimana atas tingginya angka kematin ibu bayi? Beliau jawab, akses RS yg kurang makanya dia akan bangun RS Pratama hingga tingkat kecamatan..

Sepanjang saya mengikuti sidang-sidang komisi 9, bu ribka juga sering ungkapkan upayanya bangun rs kelas 3 dan gratis...

Ya tetapi kembali pd asas dasar, siapa saja yg jd Menkes itu hak prerogatif presiden... ;)

Tanggapan Heru Aryadi

Dear all,

Bagi politisi, UKP itu sesuatu banget dan seksi banget

Bagi profesional, UKM itu sesuatu banget dan seksi banget

So, kita tunggu siapa yang bakal jadi Menkes

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Pengamatan saya mengenai posisi menteri di bidang kesehatan selama 15 tahun ini memang merupakan posisi politik. Suka2nya Presiden terpilih dan orang-orang di sekitarnya. Jadi setiap 5 tahun sekali, memang ada perjudian besar. Menteri yang terpilih bisa baik bisa buruk. Untuk mengurangi dampak buruk perjudian ini ada sedikit analisis saya sebagai berikut:

  1. Di sektor kesehatan belum ada semacam kekuatan penyeimbang untuk Menteri Kesehatan. Memang ada DPR, namun isinya juga perjudian.
  2. Para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan masih lemah. Para peneliti kita masih belum independen dan belum dapat memposisikan diri sebagai pemberi masukan kebijakan.
  3. Anggaran untuk penelitian kebijakan masih rendah.
  4. Sebagian peneliti kebijakan "menyeberang" ke pengambil kebijakan yang akhirnya menjadi pejabat dengan peran yang membingungkan.

Oleh karena itu perlu penguatan para peneliti dan pemberi masukan kebijakan kesehatan yang independen. Hal ini yang perlu kita perkuat. Jadi siapapun Menterinya, kelompok independen di sektor kesehatan harus memperkuat diri, dan tidak perlu ikut-ikutan "ngotot" memberikan masukan siapa Menterinya. No body is perfect dan bisa menjadi faktor yang membikin tidak independen.

Saya pernah memberi masukan nama untuk Menteri Kesehatan karena diminta lingkaran dalam Presiden terpilih. Setelah Menteri terpilih saya berusaha menjaga jarak agar tidak terjadi bias. Hal ini penting, kecuali kalau kita kemudian ditunjuk menjadi Penasehat Menteri dan kita bersedia. Posisi penasehat ini memang tidak independen. Saya berfikir bahwa Indonesia masih butuh banyak peneliti kebijakan yang independen.

Demikian komentar saya. Jadi mari kita cermati proses pembentukan kabinet dan siapkan materi untuk masukan kebijakan serta kekuatan untuk memberi masukan.

Website Kebijakan Kesehatan Indonesia akan terus dipacu untuk forum kebijakan kesehatan. Silahkan menggunakannya.
Salam

Tanggapan Heru Ariyadi

Sependapat prof Laksono.
Ijin share pendapat ini, karena sdh ada petisi yg kalimatnya mengandung rasa benci sebagian dan sebagian memang obyektif (paling tidak menurut saya )

Salam Keselamatan Pasien

Tanggapan Hanna Permana

Setuju...pak Laksono..... apa yang kita bisa dan mampu harus kita kerjakan....dan jika ada yang baik..serta perlu kebijakan kita berupaya memberikan masukan ke pembuat kebijakan... dengan alasan yang kuat kita harapkan pengkayaan dibidang kesehatan  khusunya kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat... setuju pak Laksono...siapapun menterinya ya harus didukung...oleh profesional dibidang  kesehatan

Tanggapan Anjari Umari

Terima kasih prof atas tanggapan dan pendapatnya. Mencerahnya dan patut jadi pegangan...

Iseng-iseng saya nulis di blog pribadi :

Biarkan Jokowi Mengangkat Menteri Pilihannya

http://anjaris.me/biarkan-jokowi-mengangkat-menteri-pilihannya/

Saya ikut mengisi nama yang diusulkan sebagai calon Menteri Kesehatan dalam “Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)” yang diinisiasi oleh kelompok relawan “Jokowi Center”. Harapan saya sih sederhana saja, siapa tahu nama yang saya usulkan benar menjadi Menkes. Saya punya keyakinan, haqul yaqin, orang yang saya usulkan mampu mengemban tugas dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Alasannya sih (lagi-lagi) sederhana, saya tahu kelayakan dan kepantasan (fit & proper) yang bersangkutan.

Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.

Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara “tolak si anu jadi Menkes” semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi “menolak si anu jadi menkes” yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.

Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud “menyodorkan dengan memaksa” Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.

Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?

Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,”ini lho kabinet pilihan presiden kita”. Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,”apa sampean nyoblos saya?” ;))

Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan “tolak di anu jadi Menkes”. Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia “merasa berhak” bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?

Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!

Tanggapan Laksono Trisnantoro

Mantap pak Anjari. Klop benar dengan pendapat saya. Mari kita hadapi segala kemungkinan. Kalau pas dapat baik... mari bersyukur. Kalau pas dapat yang jelek...mari kita tekan untuk menjadi baik. DI sektor lain banyak think-tank yang berani menekan Menteri. Misal di sektor perhubungan, ada berbagai kelompok peneliti yang memberi masukan (bisa disebut juga tekanan) agar Menteri Perhubungan membikin kebijakan tertentu. DI Luar Negeri hal ini sangat jamak sehingga ada kontrol dan penyeimbangan. Oleh karena itu  mari kita perkuat Check and Balance di sektor kesehatan. Siapapun Menteri Kesehatannya.

ARSADA, ADINKES, PERSI, UGM, UI dll  harus siap2. Siapapun Menterinya...kita harus tegakkan logika. Jangan sampai sektor kesehatan menjadi sektor yang tidak logis, gara-gara perilaku Menteri dan Staffnya...

 {jcomments on}

Arsip Agenda Tahun 2013

 

 

30 April 2013

Prof. Dr. Sujudi Building (Lantai 3), Kementerian Kesehatan RI

Seminar: Hasil Studi Beban Penyakit, Trauma dan Faktor Risiko di Indonesia Tahun 2010: Tingkat dan Kecenderungan

klik disini

29-30 April 2013

Aula FK UI

Semiloka Nasional Pendidikan Dokter Spesialis dan Peran Dokter Layanan Primer

klik disini

25 April 2013

R. Teater Gd. Perpustakaan Lantai 2 FK UGM

Guest Lecture & Lunch Seminar

klik disini

12 April 2013

Ruang Theater Perpustakaan FK UGM lt. 2

Diskusi Kebijakan:
Dilema Profesi Dokter dalam Penentuan Tarif di RS dan Asuransi Kesehatan

klik disini

2 April 2013

Ruang Kuliah S3 Gd. Pascasarjana Lantai 2 FK UGM

Agenda Pembangunan Paska MDGs 2015:
Catatan dari the 4th Meeting of High Level Panel of Eminent Persons - Bali, 25 Maret 2013

klik disini

18-21 Maret 2013 

Accra, Ghana

Strengthening research and policy on social determinants of health in low and middle income countries in Asia and Africa

19 Maret 2013

Auditorium II FK UGM

Komunikasi Data Elektronik dalam Skema BPJS Kesehatan

klik disini

8-9 Maret 2013

Ruang Senat FK UGM

Penggunaan Data Kematian "Absolut" Untuk Meningkatkan Kinerja program MDG4 dan MDG5 di Level Kabupaten/kota

klik disini

6-7 Maret 2013

Ruang Senat FK UGM

Kebijakan Retensi Bagi Dokter dan Dokter Spesialis Agar Kerasan di Daerah Sulit dan Kemungkinan Membentuk Asosiasi Dokter di Daerah Sulit

klik disini

4 Maret 2013

Ruang Seminar Gd. Administrasi Pusat RSUP Dr. Sardjito

Tata Kelola Pendidikan Residen Dalam Konteks Hubungan Fakultas Kedokteran dengan Rumahsakit Pendidikan

klik disini

2 Maret 2013

Auditorium II FK UGM

Sinergi Rumah Sakit Pendidikan dan Fakultas Kedokteran dalam Menyongsong Pelayanan Kesehatan era Jamkesta dan BPJS

klik disini

22 Februari 2013

Ruang Senat FK UGM

Current Knowledge and Innovation Cardiovascular Care

klik disini

13 Februari 2013

FK UGM

Open Lecture & Workshop DHIS 2 - OpenMRS di Fakultas Kedokteran UGM

8 - 9 Januari 2013

Hotel Santika Jakarta

Pengembangan Kelompok Riset dan Kurikulum Manajemen dan Kebijakan Medik di Fakultas Kedokteran

klik disini

3 Januari 2013

Yogyakarta

Evaluasi Penerapan Manual Rujukan KIA & Surveilans Respon Kematian Ibu dan Anak di Tingkat Kabupaten/Kota Se Prov. DIY

klik disini
       

Arsip Agenda Tahun 2013

 

 

17-27 September 2013

Yogyakarta

Winter School in Yogyakarta
Social Determinants of Health in relation with Post-MDGs agenda

Klik Disini

7 September 2013

Kupang

Hari IV - KONAS IAKMI XII

Klik Disini

6 September 2013

Kupang

Hari III - Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Klik Disini

5 September 2013

Kupang

Hari II - KONAS IAKMI XII

Klik Disini

4 September 2013

Kupang

Hari I - Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Klik Disini

29-30 Agustus 2013

Bali

International Seminar
Social Determinants of Health: The MDGs and Beyond

Klik Disini

23 Juli 2013

Ruang Kuliah R.E. 301, Lt. 3 Gedung IKM Sayap Utara, FK UGM

Diskusi Bulanan Tahun 2013
Pembahasan Artikel Kebijakan dan Manajemen
Kelompok Kerja Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran UGM

Klik Disini

17 Juli 2013

Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM

Semiloka sehari:
Teknologi Telematika sebagai Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia RS
dan Memperkuat pelayanan kesehatan di daerah sulit dan terpencil

Klik Disini

7 - 10 Juli 2013

Sydney Convention Center

Merayakan Ekonomi Kesehatan
(Celebrating Health Economics)

Klik Disini

28 Juni 2013

Ruang Kuliah S3 Lt.2, Ged. Pascasarjana FK UGM

Lunch Seminar:
Kesehatan dalam Agenda Pembangunan Paska MDG 2015 : Catatan Peluncuran Laporan High Level Panel of Eminent Persons

Klik Disini

11-12 Juni 2013

R. Senat FK UGM dan Hotel Tjokro

Workshop: Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kebijakan Medik:
BPJS sebagai titik singgung dan siapa penelitinya?

Klik Disini

31 Mei 2013

Hotel Santika Yogyakarta

Deklarasi Rumah Sakit Badan Nirlaba untuk menyehatkan masyarakat

Klik Disini

27 Mei 2013

Hong Kong

Melibatkan pelayanan kesehatan swasta untuk pencapaian Universal Health Coverage

Klik Disini

22 Mei 2013

R. Rapat Senat Ged. KPTU Lt.2, FK UGM

Seminar Pencegahan Korupsi di Sektor Kesehatan

Klik Disini

21 Mei 2013

R. Kuliah S3 Lt.2 Gd Pascasarjana FK UGM

Seminar Praktik dan Kebijakan Obat di Indonesia

Klik Disini

Reportase Simposium VIII

Simposium VIII

Pelarangan Iklan Rokok dan Media Komunikasi

Reporter: Jusniar

Simposium VIII rangkaian acara ICTOH telah dilakukan pada Sabtu (31/5/2014) pukul 11.50-13.20 WIB di ruang Rosewood 2, Hotel Royal Kuningan. Peserta yang mengikuti sesi ini sekitar 20 orang dan acara dimoderatori oleh Heri Chariansyah, SH. (Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia). Ada empat pemateri dalam symposium ini, antara lain:

Pertama, Yosef Rabindata Nugraha (Organisasi Indonesia Bebas Rokok). Peran Masyarakat Sipil dalam Media Sosial dalam Upaya Menentang Pameran Inter-tabac Asia. Indonesia dipilih sebagai tuan rumah pameran Inter-tabac, pameran rokok dan aksesoris rokok terbesar yang diinisiasi oelh pemerintah Kota Dortmund, Jerman. Pameran tersebut rencananya akan diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center pada tanggal 27-28 Februari 2014. Seorang warga kota Dortmund menghubungi pembicara, mengajak bergabung dalam upaya menentang pameran tersebut dengan cara membuat petisi on line. Warga kota Dortmund tersebut merasa sangat malu karena kotanya membuat kegiatan yang merugikan orang Indonesia. Akhirnya, petisi dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris dan Jerman) tersebut ditandatangani oleh lebih dari 12.400 orang. Sekitar 8.000 orang berasal dari Indonesia, 3.000 orang dari Jerman, dan sisanya dari beberapa negara lain. Selain dengan petisi on line, mereka juga mengirimkan foto mereka yang membawa tulisan " I Made Mangku Pastika Tolak Inter-tabac Asia 2014" ke twitter Gubernur Bali.

Akhirnya, pameran Inter-tabac Asia 2014 resmi ditunda diselenggarakan di Provinsi Bali. Bahkan, World Tobacco Asia yang semula akan kembali diselenggarakan di Indonesia pada bulan September 2014 resmi di[pindahkan tempat penyelenggaraannya. Peran media sosial dan masyarakat sipil dalam upaya pengendalian tembakau perlu dikembangkan, mengingat masyarakat sudah cukup peduli dengan isu pengendalian tembakau. Jika media sosial digunakan dengan tepat guna, akan sangat bermanfaat dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.

Kedua, Hendriyani & Nina Mutmainnah Armando (FISIP-UI, Yayasan Pengembangan Media Anak). Panah Tajam Iklan Rokok di Televisi unhtuk Anak Muda. Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang belum melarang iklan rokok di media penyiaran. Iklan rokok di televisi ditujukan kepada anak muda. Anak-anak yang mulai merokok pada usia muda akan memiliki loyalitas yang tinggi. Penelitian dilakukan terhadap 11 stasiun televisi swasta yang melakukan siaran secara nasional dai Jakarta. Iklan rokok yang diteliti adalah iklan rokok pada satu minggu pertama selama empat bulan berturut-turut pada tahun 2012. Data diambil pada bulan Januari – April, kecuali di TransTV pada bulan Mei – Agustus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasar durasi tayangan iklan per minggu, secara berturut-turut stasiun yang paling banyak menayangkan adalah: transTV, RCTI, Trans7, GlobalTV, MNCTV, ANTV, SCTV, Indosiar, TVOne dan MetroTV. Mayoritas iklan ditayangkan di program R-BO (Remaja-Bimbingan Orangtua) yang banyak memiuliki penonton anak muda. Tema-tema yang diangkat sangat khas anak muda, seperti petualangan, gaya hidup, keberanian, pertemanan, semangat, keceriaan, dan lain-lain.

Ketiga, Rizanna Rosemary (Faculty of Social and Political Sciences. The University of Syiah Kuala, Centre for Tobacco Control Studies), Understanding Online Petition as Potential Medium for Tobacco Control Advocacy. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa media sosial seperti twitter atau facebook terbukti sangat signifikan bukan hanya untuk mempromosikan rokok, tetapi juga untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan-kegiatan online, seperti petisi online sebagai sumber gerakan sosial atau perubahan sosial. Potensi media sosial sangat besar untuk mengupas isu-isu tentang rokok. Dukungan yang diberikan oleh media sosial misalnya dalam bentuk petisi online dapat digunakan untuk mendorong stake holder dan pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan pengendalian tembakau. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mencegah konsumsi tembakau dan meningkatkan kesehatan anak muda Indonesia.

Keempat, Vetty Yulianty Permanasari, Santy Yudiastuti, Zakiyah (Tobacco Control Support Center, IAKMI, Melawan Mitos Industri Rokok: Studi Pendapatan Daerah dari Iklan Rokok di 3 Kota di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jumlah pendapatan pemerintah Kota Semmarang, Surabaya dan Pontianak dari semua jenis iklan luar ruang produk tembakau, sponsorship dan CSR pata tahun 2008-2010. Studi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari instansi yang terkait dengan penerimaan pendapatan dari iklan tembakau luar ruang. Hasil peneltian menunjukkan bahwa pendapatan dari pajak iklan sangat kecil, hanya 0,12% – 1,01% dari total pendapatan daerah. Pendapatan yang kecil tersebut tidak mempengaruhi total pendapatan daerah. Penbelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah ketiga kota tewrsebut untuk melarang iklan rokok. Potensi iklan yang lebih besar bisa ddapatkan dari produk telepon seluler, otomotif dan perbankan.

Reportase Sesi Pleno I ICTOH

Sesi Pleno I ICTOH

Reporter: Jusniar

Sesi Pleno I ICTOH dilaksanakan di Royal Ballroom, pada Jum'at (30/4/2014) pukul 10.05 – 12.00 WIB. Ada dua pemateri yang hadir dalam pleno I ini, yaitu dari WHO Indonesia dan International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases. Dr. Farrukh Qureshi (WHO Representative Indonesia) menyampaikan Impact of FCTC on Reduction of Tobacco Use. FCTC perlu dilaksanakan karena terbukti cost effective. Sejak tahun 2007, WHO telah mengembangkan strategi MPOWER yang perlu dilaksanakan oleh pembuat kebijakan di Indonesia. Ada 15 negara yang sudah menerapkan > 50% permukaan kemasan rokok berisi pictorial warning. Kemudian, ada 107 negara yang sudah menerapkan 30% - 50% permukaan kemasan rokok berisi pictorial warning. Pada tahun 2012 ada 24 negara yang melarang iklan, promosi dan sponsor rokok (TAPS)

Dr. Ehsan Latif (International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases) menyampaikan FCTC and Health Development. Konsumsi tembakau merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, penyakitv respiratori kronis dan diabetes. Penyakit tidak menular membunuh 35 juta orang per tahun, 80% di antaranya di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2005, rumah tangga di Indonesia yang memiliki perokok mengeluarkan 11,5% pendapatannya untuk produk tembakau, lebih tinggi daripada gabungan pengeluaran untuk ikan, daging, telur dan susu yang 11%. Solusi untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan konsumsi tembakau adalah meratifikasi dan mengimplementasikan FCTC.

Reportase Simposium X

Simposium X

Kebijakan dan advokasi pengendalian tembakau

Reporter: Ningrum

Simposium X sebagai bagian dari ICTOH mengambil tema Kebijakan dan advokasi pengendalian tembakau. Simposium telah digelar pada Sabtu (31/5/2014) pukul 11.00-13.00 WIB di ruang Rosewood 4, Hotel Royal Kuningan. Dwi Adi Maryandi kali ini bertindak sebagai moderator dalam simposium. Berikut adalah 5 materi yang sudah disampaikan :

Pertama, Sinergi Pemerintah Daerah dan Perguruan Tinggi dalam Mengupayakan Kebijakan Pengendalian Tembakau di Kabupaten Jember, oleh : Dewi Rokhmah (Universitas Jember). Kabupaten Jember adalah kabupaten kedua setelah Pamekasan yang memberikan konstribusi terkait dengan daun tembakau yang mensuplai ke beberapa perusahan rokok, kemudian terkait dengan faktor histori sudah menjadi semacam budaya juga petani tembakau itu sangat erat di masyarakat Jember. Kalau dilihat dari logo saja, disana ada daun tembakaunya. Ini sebetulnya yang perlu mendapat perhatian semua teman-teman di tobacco control apakah karena ini juga, banyak kendala juga ketika kita berupaya terkait dengan kebijakan pengendalian tembakau. Petani tembakau di Jember saat ini, sudah tidak seperti dulu yang mengatakan bahwa tembakau adalah emas jadi terkait dengan turunnya harga juga kesejahteraan petani tembakau saat ini sudah sangat rendah. Hal Ini dibuktikan melalui penelitian ini yang melibatkan teman-teman mahasiswa di FKM. Kemudian untuk penerapan PHBS yang perlu perhatian juga adalah angka PPOK yang dilaporkan rumah sakit Jember adalah 60% dari mereka mempunyai kebiasaan merokok apalagi dengan kondisi yang sering terpapar asap rokok orang lain. Inovasi langkahnya muncul untuk pemerintah kabupaten mau melakukan kebijakan pengendalian tembakau. Satu hal lagi ini yang terakhir empat hari lalu HM Sampoerna memiliki pabrik rokok untuk cigarette kretek tangan ditutup karena masyarakat sekarang lebih suka dengan cigarette kretek mesin, yang menjadi korban petani tembakau 4000 lebih pekerja di pabrik rokok linting tangan di-PHK seharusnya kita harus bersinergi akademisi dengan pemerintah kabupaten kota khususnya tentang pengendalian tembakau. Untuk penellitian ini dilakukan secara diskriptif dengan kebijakan Bupati Nomor 188 tentang kabupaten sehat dengan pendekatan analisis kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kabupaten Jember dalam SK Bupati no 188.45/243.1/012/2013 tentang forum kabupaten sehat di kabupaten Jember tahun 2013-2018, dapat memberikan dampak yang positif bagi kualitas hidup masyarakat Jember termasuk para petani tembakau. Dalam proses pembentukan kebbijakan kabbupaten sehat ini diawali dari forum kerjasama pemerintah daerah dengan universitas Jember dalam bentuk dialog, kemudian menyelenggarakan workshop dan mensosialisasikan kebijakan dalam forum Jember sehat.

Kedua, Analisis terhadap Lima Draft RUU terkait Pengendalian Tembakau, oleh : Putri Hikmawati (Indonesia tobacco control legal resource center). Hasil penellitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kejadian relapse pada perokok aktif, dengan variabel hambatan berhenti merokok, kepercayaan diri, motivasi dan tingkat ketergantungan terhadap nikotin namun tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel persepsi terhadap ancaman penyakit dan variabel manfaat berhenti merokok. Analisis regresi logistic menunjukan variabel kepercayaan diri merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian relapse pada perokok aktif dengan resiko. Factor sosio psikologi sangat berpengaruh terhadap kejadian relaps pada perokok aktif, untuk itu perlunya penguatan pada program yang berbasis social kemasyarakatan untuk memberikan dukungan berhenti merokok pada perokok aktif sehingga mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat bahwa tanpa merokok mereka dapat hidup sehat dan lebih produktif.

Ketiga, Pajak rokok untuk Promosi Kesehatan : Studi Kasus Alokasi 70% Pajak Rokok untuk Pengendalian Tembakau di DKI Jakarta, oleh : Bernadette Fellarika Nusarrivera (Swisscontact Indonesia Foundation). Tantangan dalam advokasi raperda pajak rokok adalah bagaimana agar pasal 8 Raperda tersebut yang semula isinya sama dengan pasal 31 Undang-Undang No 31/2009 dapat diubah menjadi "penerimaan pajak rokok dialokasikan palilng sedikit 50% untuk mendanai promosi kesehatan dan pengendalian dampak merokok serta penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Pertemuan dan lobi oleh koalisis, kemendagri akhirnya menerima argument yang disampaikan pemerintah provinsi DKI. Hasilnya adalah penerimaan pajak rokok dialokasikan paling sedikit 70% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Studi kasus ini adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia dimana pemerintah daerah menolak hasil evaluasi raperda dari kemendagri. Implikasi dari keberhasilan ini adalah bahwa daerah-daerah lain di Indonesia akan menjadikan kasus di DKI ini sebagai pertimbangan dalam memanfaatkan pajak rokok untuk sebesar-besarnya upaya promosi kesehatan guna melindungi masyarakat dari bahaya merokok. Langkah tindak lanjut setelah ini adalah penyusunan dan pelaksanaan pedoman penggunaan pendapatan pajak rokok untuk promosi kesehatan seperti yang diamanatkan Perda No. 2/2014. Koalisis SIF akan terus mengadvokasi dan memantau pelaksanaan perda ini

Keempat, Dukungan Masyarakat terhadap Aksesi FCTC di Indonesia, oleh : Deni W Kurniawan. Penelitian ini di lakukan di 11 kota dan 8 provinsidi Indonesia, dengan responden sebanyak 1.444 orang yang dipilih secara acak dengan usia 18 tahun ke atas. Mayoritas responden mendukung pengaturan pengendalian tembakau seperti larangan merokok di seluruh tempat public dan tempat kerja (95%), peringatan kesehatan bergambar (8.7%), pelarangan iklan, promosi dan sponsorship rokok (82.8%), menaikkan pajak dan harga rokok (95.5%), melarang penjualan rokok per batang/ketengan (79%), melarang penggunaan rasa tertentu (80%) dan pengaturan kemasan rokok polos (74%). Responden mendukung aksesi FCTC (90%). Dukungan terhadap aksesi FCTC juga tinggi diantara responden perokok (83.4%), mantan perokok (93.7%) dan mantan perokok (95.4%). Mayoritas masyarakat Indonesia mendukung sangat kuat dari generasi muda (70.8% responden berusia 18-30 tahun) menunjukkan bahwa generasi muda mendukung kebijakan pengendalian tembakau

Kelima, Denormalisasi Industry Rokok Melalui Penggalangan Suara Korban Rokok dalam Advokasi Pengendalian Tembakau di Indonesia, oleh : Nanda Fauziana (Komisi nasional pengendalian tembakau). Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana penggalangan suara korban rokok melalui Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) dapat mempengaruhi denormalisasi industri rokok di Indonesia. Alat yang digunakan untuk advokasi denormalisasi industry rokok antara lain dengan pembuatan buku testimonial korban rokok, iklan layanan masyarakat dalam media penyiaran maupun medialuar ruang, konferensi pers, dan akun aliansi korban rokok dalam media social. Hingga saat ini AMKRI merupakan aliansi satu-satunya yang pernah dibentuk di Indonesia yang beranggotakan pasien atau survival dan keluarga korban yang pernah atau sedang mengalami sakit terkait rokok. Penggalangan dukungan dalam bentuk aliansi korban rokok merupakan salah satu cara yang efektif untuk advokasi denormalisasi industry rokok di Indonesia. Kegiatan advokasi ini perlu dilanjutkan dan diperbesar menjadi skala nasional untuk mendukung advokasi di daerah-daerah. Selain itu, pembentukan dukungan suara-suara kelompok lain terutama kelompok pemuda perlu dilakukan untuk menambah kekuatan masyarakat dalam melakukan denomalisasi industri rokok.

Reportase Simposium IX

Simposium IX

Program Berhenti Merokok

Reporter: Endang

Simposium IX bagian dari ICTOH telah dilaksanakan pada Sabtu (31/5/2014) di ruang Rosewood III, Hotel Royal Kuningan pada pukul 12.00-13.00 WIB. Sugeng Hidayat bertindak selaku moderator dalam simposium yang membahas Program Berhenti Merokok ini. Ada tujuh materi yang dipaparkan, yaitu:

Pertama, Willingness Among Addolecent Non Smokers to Help Smokers Stop Smoking ( Ade permata Surya). Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana keinginan remaja yang tidak merokok untuk menasehati para remaja merokok agar berhenti merokok. Hal ini didasari perokok remaja semakin banyak, sedangkan remaja yang terpapar asap rokok juga banyak. Hasil penelitian 90% remaja bersedia menolong . 68 % merasa kurang nyaman untuk membantu menolong, 70 % dspat membantuperokok berhenti. Umumnya yang ingin membantu merokok adalah remaja putri, remaja yang memiliki orang tua yang merokok dan murid SMA jurusan IPS. Kesimpulan remaja bisa sebagai agen perubahan untuk membantu berhenti merokok.

Kedua, Analisis Sosio Psikologis Terhadap Kejadian Kekambuhan ( relaps) Merokok di Kecamatan Tamalate Makasar ( Ida laela M.Thaha). Kejadian relapse pada perokok sangat sering terjadi. Banyak perokok mencoba berhenti merokok, namun kembali merokok lagi. Penelitian ini untuk mengukur kejadian relapse dihubungkan dengan persepsi perokok, yang ternyata tidak signifikan . Meskipun tahu bahaya rokok, kemungkinan relaps tetap tinggi. Hal-hal yang mempengaruhi relapse diantaranya manfaat, hambatan, kepercayaan diri, motivasi ,dan ketergantungan nikotin. Umumnya orang yang relapse karena merasa terancam. Hasil utama kepercayaan diri sangat berpengaruh terhadap keberhasilan berhenti merokok. Orang dengan kepercayaan diri tinggi, motivasi tinggi akan dapat berhenti merokok dan tidak relapse, demikian sebaliknya.

Ketiga, Klinik Konseling Berhenti merokok di Yogyakarta ( Endang Pujiastuti). Klinik Konseling berhenti merokok di Yogyakarta berdiri sejak 2009. Langkah yang dilakukan untuk klinik adalah melalui penjajakan kepada dinkes dan puskesmas, sosialisasi, pematangan alur, pelatihan konselor,evaluasi. Jumlah pasien yang dikonseling dari tahun ke tahun selalu meningkat. Faktor pendorongnya karena kebiasaan merokok masuk dalam anamneses pasien, layananKBM terintegrasi keseluruh poli, ruang konseling yang representatif, kesediaan dokter untuk merefer pasien ke ruang konseling. Faktor penghambat, tenaga konselor sering merangkap tugas dan dimutasi, tidak ada TOT,belum ada kesadaran masyarakat untukberhenti. Solusi dilakukan refresing, TOT dan penambahan saranadan prasarana.

Kelima, Efektivitas Kombinasi konseling dan Farmakoterapi Pada program Berhenti Merokok di RS Persahabatan Jakarta ( Agus Dwi Susanto). Telah dilakukan penelitian pada pasien dengan dua perlakuan. Satu kelompok intervensi dilakukan konseling dan terapi obat dan kelompok kontrol tidak diberikan obat. Hasil penelitian pasien yang diberikan konseling dan obat berhenti pada hari ke-40. Sedangkan pasien yang hanya konseling saja berhenti pada hari ke-50. Meskipun demikian tingkat keberhasilannya tetap tergantung kepada motivasi pasien. Dengan motivasi tinggi dan dibantu obat, tingkat keberhasilan berhenti merokok semakin tinggi. Untuk itu direkomendasikan konseling berhenti merokok di tingkat primer ditekankan kepada motivasi. Penggunaan obat tidak tersedia di Puskesmas, karena harganya mahal. Namun hal ini memungkinkan untuk dilakukan di rumah sakit.

Keenam, Efektivitas perubahan perilaku merokok Theta Burst TMS Pada penghuni Panti social tresna Werda Budi Mulia 1 (Agus SetiawanSolichen-UI). Theta Burst TMS adalah suatu alat yang digunakan untuk mengganti dopamine yang memberi efek rileks pada orang yang merokok. Alat ini ditempelkan pada kepala dan langsung menembus ke saraf otak dalam waktu 1,5 menit. Penelitian dilakukan pada dua kelompok yang pertama diberikan terapi TB, dan yang kedua hanya berupa placebo. Hasil dari penelitian ini orang yang diberi TB setelah dua hari tidak mau merokok lagi dan berhenti merokok. Untuk terapi ini seharusnya dilakukan selama lima kali, namun ternyata setelah dua hari pasien sudah tidak merokok lagi/berkurang jumlah konsumsi rokoknya. Sekali terapi 200 ribu, bisa direkomendasikan karena lebih murah daripada obat berhenti merokok, serta tidak menimbulkan efek samping dan bisa digunakan untuk terapi yang lain, ketergantungan obat, narkoba atau depresi. Namun sekali lagi tetap diperlukan motivasi tinggi dari perokok untuk berhenti merokok.

Ketujuh, Not On Tabacco" Smoking Cessation Program for Teenagers in Depok, West Java, Indonesia ( Kartika Anggun). Not on Tabacco merupakan suatu program konseling berhenti merokok yang ditujukan kepada remaja. Metode ini diadopsi dari American Lung Association. Metode ini mirip metode konseling kelompok, dengan maksimal 10 orang peserta dan pertemuan selama 10 kali. Dilakukan ujicoba di SMA di Depok dan direkrut dua kelompok. Kelompok pertama diberi konseling dengan metode NOT selama 6 kali pertemuan. Dan kelompok 2 hanya sekali diberikan brief intervensi dan modul berhenti merokok. Enam pertemuan itu berupa pengertian NOT, pemahaman pola merokok ,deklarasi berhenti merokok, pengalaman berhenti merokok, sharing perubahan pada fisikyang sudah berhenti merokok, belajar menghargai pencapaian diri sendiri dan mengajak orang lain berhenti merokok. Hasil intervensi 90 % mengurangi rokok, jumlah rokok yang berhasil dikurangi 3 batang, adiksi menjadi rendah. Sedangkan murid yang hanya diberi brief intervensi sekali juga berhasil mengurangi. Hal ini terjadi karena peran kepala sekolah dan modul yang diberikan sangat lengkap sehingga murid termotivasi uuntuk berhenti merokok. Ke depan akan dilakukan program serupa di 5 sekolah melalui kerjasama dengan Dinkes dan Disdik, serta difasilitasi oleh UI.

Reportase Simposium 7

Simposium 7

Kawasan Tanpa Rokok

Reporter: Tutik Istiyani

Pada simposium 7 ini membahas mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR). Symposium ini dilaksanakan pada pukul 11.45 – 13.00 di ruang Rosewood 1, Hotel Royal Kuningan dengan dimoderatori oleh Dr. Santi Martini, M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Dalam simposium ini dihadiri 17 orang termasuk para presenter. Dalam simposium mengenai kebijakan KTR ini, ada empat makalah yang dipresentasikan. Masing-masing presenter diberi waktu presentasi selama 10 menit dan untuk sesi tanya jawab dilaksanakan secara panel. Secara singkat, keempat makalah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Kawasan Tanpa Rokok di Kota Pontianak. Makalah ini dipresentasikan oleh Mayani dari Dinas Kesehatan Kota Pontianak. Dalam presentasinya dipaparkan bahwa ada tiga hal yang menjadi prinsip Perda KTR Kota Pontianak, yaitu tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup di Kota Pontianak, tidak mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan tanpa rokok, tidak memaparkan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok. Di kota Pontianak juga ada kebijakan pendukung yaitu Surat Edaran Walikota tentang pelaksanaan KTR di semua institusi yang telah ditetapkan sebagai KTR (12 Mei 2011), Surat Edaran Walikota ttg pelarangan iklan rokok di sekitar lingkungan pendidikan (Juli 2012), dan Surat Edaran Walikota ttg larangan pemasangan iklan produk tembakau/rokok dalam bentuk gambar atau foto orang sedang merokok dan asap rokok (tgl 14 Maret 2014). Monitoring di gedung dan ruang juga telah dilakukan sejak tahun 2012 sampai sekarang, meliputi kawasan tempat ibadah, sekolah, tempat kerja, restoran/rumah makan, hotel, mall/supermarket, sarana kesehatan, salon/GOR. Tingkat kepatuhan diukur dengan delapan indikator yang sudah ditetapkan pemerintah.

Kedua, Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di RSUD R. Syamsudin, SH. Makalah ini dipresentasikan oleh Deni Purnama dari RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa secara umum pelaksanaan KTR di RSUD R. Syamsudin, SH sudah cukup baik. Hal ini karena atribut pelaksanaan KTR mulai dari adanya dukungan kebijakan, media promosi kesehatan hingga program kegiatan yang tidak hanya dilaksanakan di RS. Namun dalam implementasinya masih terdapat kelemahan, yaitu konsistensi pengawasan dan pengendalian perilaku merokok di RS. Selain itu SK KTR tidak mencakup pembagian tugas dan fungsi sehingga masih diperlukan revisi.

Ketiga, Penilaian Kualitas Udara akibat Paparan Asap Rokok Orang Lain di Kota Semarang. Makalah ini dipresentasikan oleh Nurjanah dari Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Penelitian ini menggunakan alat Sidepak Aerosol Monitor dan dilakukan di 78 titik lokasi, meliputi perguruan tinggi, kantor pemerintah dan swasta, restoran, kafe, perpustakaan, loket pelayanan umum dan bandar udara. Waktu pengukuran pada tiap lokasi antara 30-60 dengan interval 1 menit. Observasi dilakukan terhadap kondisi lokasi dan perilaku penghuni: ruangan bebas rokok, ruangan diperbolehkan merokok, ruangan tidak merokok dalam gedung yang diperbolehkan merokok (non-smoking section), ruangan merokok dalam gedung dimana terdapat ruang tidak merokok (smoking section). Hasil penelitian menunjukkan kualitas udara pada tempat-tempat yang diperbolehkan merokok mencapai 94,76 dan yang tidak diperbolehkan merokok 34,60. Oleh karena itu, Perda KTR harus diberlakukan dan ruangan harus 100% menjadi KTR karena smoking room yang masih berada dalam satu gedung tidak efektif.

Keempat, Meningkatkan Tingkat Kepatuhan terhadap Perda KTR di Kota Bogor. Makalah ini dipresentasikan oleh Bambang Priyono dari No Tobacco Community. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa digunakan delapan indikator dari pemerintah untuk menghitung tingkat kepatuhan, yaitu adanya orang merokok, adanya ruang khusus merokok, adanya tanda larangan merokok pada pintu masuk, tercium bau rokok, ditemukannya puntung rokok, ditemukannya asbak, pemantik, korek, adanya iklan/promosi rokok, dan adanya penjualan rokok. Adapun proses monev KTR Kota Bogor dilakukan dengan enam tahapan, yaitu training petugas monev, pengambilan data di lapangan oleh petugas, pengumpulan data dari petugas, input data ke dalam SPSS, analisis data menggunakan SPSS, dan publikasi hasil analisis. Sejak tahun 2011 hingga saat ini, di Kota Bogor sudah dilakukan monev sebanyak 7 kali, dengan hasil persentase tingkat kepatuhan cenderung naik, yaitu 26%, 78%, 81%, 68%, 72,2%, 76,5%, dan 81,4%. Untuk terus meningkatkan kepatuhan harus terus dilakukan implementasi dan inspeksi mendadak ke setiap tatanan dan monev juga harus dilakukan secara berkala.