sesi 2: Mencakup Sektor Informal Untuk Mencapai UHC : Apakah Pengalaman Global dan Bagaimana Relevansinya?

Mencakup Sektor Informal untuk Mencapai UHC :
Apakah Pengalaman Global dan Bagaimana Relevansinya?

Sesi ini disampaikan perwakilan WHO yaitu Joseph Kutzin. Dari persentasi panelis bahwa sektor informal sangat beragam, dan mereka ini menerima pendapatan yang tidak tentu dan tentunya kita sudah familiar soal ini. Seperti juga Indonesia sangat sulit untuk mendapatkan pajak dari sektor ini baik pajak penghasilan atau perorangan karena sektor iki sangat kecil dan sulit untuk memobilisasi sumber daya. Pembayaran premi asuransi kesehatan secara sukarela, mereka cenderung mempertahankann status informalnya untuk menghindari pajak. Berdasarkan defini miskin, hampir miskin sebetulnya yang kita inginkan adalah bagaimana menjamin kesehatan mereka. Negara-negara seperti InggrIs, mereka juga punya masalah beragam soal ini namun sektor informal ini berhasil mengatasinya melalui skema UHC.

Tidak ada jaminan negara yang mencapai UHC secara sendiri. Selalu ada kelompok masyarakat yang tidak mampu untuk membayar. Beberapa negara mengandalkan kontribusi langsung dari masyarakat. Semakin besar negara tersebut bergantung pada pendapatan negara maka semakin muncul persoalan disitu. Poin dari saya di semua negara kita sangat memikirkan persoalan pendanaan ini. Tidak bisa ada perubahan sistem lalu semua bisa lebih baik tapi bagaimana kita mendorong penggunaan sumber daya secara efektif untuk ditekankan. Ini kesimpulan teknis dari penerapan universal. Ada beberapa isu politis dibeberapa negara, pertama di Meksiko mendorong UHC ada upaya untuk mengurangi ketimpangan dari manfaat dan pendapatan perkapita dari masyarakat. Karena masyarakat mengupayakan agar ada universal coverage bagi masyarakat. Krisis di Eropa juga membuat mereka berpikir ulang tentang kesetaraan dan keadilan bagi semua. maka bisa diupayakan dengan memperluas cakupan kepada sektor informal. Memulai jaminan kesehatan yang pertama adalah pada kelompok masyarakat yang sudah mampu dan secara mandiri memiliki asuransi kesehatan. Dinamika poilitik di Jerman misalnya tidak ada kementerian kesehatan mengalami persoalan pelik dengan teknologi kesehatan. Sehingga tantangan bidang kesehatan ini lebih pelik dibanding masa lalu. Di Indonesia kita memulai dengan sektor formal dan kita ingin mengintegrasikan dengan sektor informal juga tetapi masalahnya tidak bisa menghilangkan sejarah yang memulai dengan pihak-pihak yang sudah punya kemampuan.

Agenda jaminan kesehatan semesta yan ingin saya tegaskan adalah : kita tidak bisa serta-merta mengabaikan sistem secara lebih luas. Saya ingin mendiskripsikan beberapa pilihan yang mungkin diterapkan di Indonesia berdasarkan pengalaman di negara lain. Indonesia dalam 15 tahun terakhir sudah sangat berubah dalam kebijakan kesehatan namun nanti Indonesia sendiri yang akan memutuskan mana yang akan digunakan. Terdapat tiga kategori untuk pendekatan ini pertama, pendekatan sektor formal, akan ada kontribusi untuk sektor informal dan semua orang harus berkontribusi. Kedua, memberikan jaminan atau cakupan pembiayaan bagi semua orang yang tidak masuk di sektor formal. Ketiga, memberikan layanan kepada sekelompok orang, artinya mendefinisikan layanan tetentu untuk kepentingan tertentu

Kontribusi tidak bersubsidi oleh sektor informal masyarakat mampu. Hal ini bisa jadi pendorong sektor informal bisa beralih jadi sektor formal, tapi kerugian terbesarnya adalah tidak pernah berhasil dimanapun. Selain itu biaya penerapannya sangat tinggi. Pengumpulan iuran asuransi sangat menghabiskan biaya untuk menerapkan ini, namun sulit untuk dilakukan. Salah satu tantangan dan ini terjadi di beberapa pihak adalah pemerintah tidak mampu mengumpulkan pajak penghasilan. Tidak jelas buktinya sejauh ini dan ini bukan spesialisasi sektor kesehatan untuk mengumpulkan pendapatan. Sehingga untuk kesukarelaan de fakto itu sangat sulit diterapkan. Jadi alternatifnya bisa diihat dari sisi sebelahnya cakupan yang dibayarkan. Meksiko dan Thailand sudah mengambil cara ini. Dengan mendapatkan premi kecil lalu mereka angkat tangan dan biaya tidak cukup untuk mengumpulkan dana iuran. Indonesia punya keuntungan terkait Thailand dan Meksiko karena ada keinginan politis dari Indonesia untuk melakukan ini.

Kapasitas fiskal itu memang berada diuar kontrol kita. Seluruh dunia mempunyai tingkat yang sama untuk pengeluaran publik dari fiskal. Indonesia dengan kapasitas fiskal memeiliki kapasitas yang sama dengan negara lain. Jadi kapasitas fiskal memang penting tapi prioritas juga penting. Ada hubungan yang jelas antara apa yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk kesehatan dan apa yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Secara data Indonesia itu sekitar 50% dan biaya pubik lebih rendah. Perbedaan ini penting walaupun opsi ini paling gampang dengan dibayar semua, tentu saja dari perspektif dunia indonesia punya kapasitas untuk mengeluarkan biaya kesehatan. Jadi ada pertanyaan apakah ini akan cukup untuk masuk mengambi opsi ini atau tidak.

Secara singkat kita lihat pendekatan ketiga langkah perkembangan yang bijaksana melalui universalization sekelsi dari layanan. Tidak bisa diberikan layanan pada semua orang. Ini memang menciptakan ketidak setaraan. Dan ini akan menimbulkan masalah untuk transisi. Jadi contohnya di Muldova mantan negara unisoviet. Mereka menggunakan kontribusi dari gaji dan pemberi pekerjaan dan tahun 2009 mereka punya 70 % populasi ini tercakup. Pendekatan terakhir adalah kombinasi yakni partisipasi bersubsidi dengan komitmen pubik yang tinggi untuk universality. Ini diterapkan oleh Cina dan Rwanda dan masing-masing memiiki 90% atau lebih coverage dengan skema pembayaran dari sukarela. Mereka memiliki pemerintah yang sangat kuat untuk memerintah pemeritah daerahnya. Tapi intinya bukan keuntungan tapi semua orang bisa ter-cover. Kedua adalah prioritas dari kesehatan ini harus ditingkatkan.

Penanya pertama. Odang Mochtar menyatakan dua hari terakhir ini kita harus menjawab bagaimana sektor informal ikut dalam UHC ini. Jika indonesia tetap menggunakan kontribusi apakah jelas bagi yang membayar iuran melalui dorongan sendiri mendapatkan manfaat standar dan bagi yang terbukti tidak membayar iuran kita berikan saja bantuan sosial. Kita sudah di persimpangan jalan dan sudah kita putuskan 1 Januari 2014. Ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa pemerintah daerah harus menjadi bagian dan perlu kerja sama.

Penanya kedua, Debbie yang merupakan penasehat kesehatan AUSAID mengungkapkan kita mendengar tentang peningkatan kepercayaan dan keuntungan dari program ini. Jika kontribusi dari pemerintah itu akan meningkat per orang per bulan lalu kenapa harus ada kenaikan bagi layanan infrastruktur bangunan kesehatan dan sebagainya. apakah Anda punya bukti dari negara-negara lain, berapa peningkatan dari akses dan pasokan dari layanan kesehatan tersebut

Andi Afdal (PT. Askes) mengungkapkan kami sekarang sudah mengkonstruksi beberapa hal untuk menarik non formal untuk terlibat dan agar mereka bisa mampu membayar secara premi. Tapi kalau lihat persentasi tadi apakah ujungnya kita akan masuk ke general juga tidak? Bahwa peran pemerintah mereka kita bisa mengerti, tapi yang terpenting adalah bagaimana menarik orang agar mau ikut.

Penanya ketiga yaitu Robert. Contoh Anda yang terakhir terkait campuran itu yang saya pahami sektor informal harus melakukan kontribusi. Tapi tadi pagi kita dengar wakil menkens ini jadi campuran. Rwanda dan Cina juga melakukan campuran ini 90% dari pajak dan 10% kontribusi rumah tangga. Apakah anda melihat modal campuran ini lebih pada kontribusi ini dari keluarga yang kecil dari pada kontribusi negara?

Rumah sakit indonesia, yang diharapkan adalah seluruh warga negara memiliki akses pada pelayanan kesehatan dan ini memang sudah terjadi tinggal kita serahkan kepada pasarnya saja. Inflasi di biaya kesehatan jauh lebih tinggi dibanding inflasi umum sehingga kalau sistem JKM ini bagus maka mereka pasti akan datang. Selain itu, hal yang penting adalah bagaimana pengorganisasian untuk menarik premi. Ini adalah pendekatan hukum pasar untuk menarik informal. Saya kurang sepakat dengan Joseph tadi kalau ini bersifat kontribusi karena bagi saya hukum pasar akan berlaku

Tanggapan Joseph, opsi yang paling relevan disni adalah campuran dan intinya menjadi realistik dari campuran tersebut. Kemampuan untuk mendanai semua dari pemasukan umum itu tidak mungkin dilakukan. Memang ada UU tapi tidak mungkin semua orang membayar yang sama tetapi bagaimana mengorganisir sebuah sistem terutama pada lokal untuk bisa membuat orang sadar mengenai hal dan kewajiban mereka. Saya tidak tahu angkanya, 90% di China tapi ini mungkin berbeda dengan Rwanda. Karena kebutuhan kesehatan tidak terlalu tinggi di Indonesia dan ada hubungan eksplisit untuk melihat subsidi anggaran. Anda mungkin harus realistis masalah kontributor ini. Ada beberapa implikasi operasional yang tentunya berbeda antar negara. Untuk sektor informal tanpa ada bantuan dari pemda itu sangat tidak mungkin. Campuran dari pendanaan dari pihak ke 3, prinsipnya jika memang ada investasi untuk layanan UCH. Pada negara yang lebih stabil maka mereka beralih ke arah ke pembelian yang lebih eksplisit.

Reportase sesi 2

Analisis Keadaan Indonesia, dengan Studi
Kasus tentang Perluasan Cakupan Menuju UHC.

Identifikasi Populasi yang Tak Tercakup: Tantangan Teknis dan Solusi Potensial.

Sesi kali ini disampaikan oleh Elvyn G Massaya, Direktur Utama PT. Jamsostek, Hanung Sugiyantono, Kadinkes Purbalingga : Studi Kasus Kabupaten Purbalingga dan Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Sesi ini dimoderatori yaitu Prof. dr. Budi Sampurna, SpF, SH (Staf Ahli Menteri Kesehatan).

Elvyn G Massaya, Dirut Jamsostek menyampaikan masih terdapat banyak kerumitan situasi dan kesulitan akses. Ada sekitar 700 ribu pekerja informal Indonesia yang telah dicakup Jamsostek melalui JPK. Menurut pengalaman, biaya operasional untuk jaminan ini sangat tinggi. Sehingga harus ada cara baru untuk coverage bagi mereka: misalnya dalam hal pemasaran, registrasi, jaminan sosial diperlukan masing-masing individu, administrasinya tidak bisa seperti pekerja formal-sehingga harus khusus. Bagaimana iurannya dipungut? Manfaatnya pun harus akurat.

Jamsostek melakukan redefinisi model bisnis, memanfaatkan teknologi dan keuangan. Saat ini, telah dibangun 512 outlet jamsostek di seluruh kabupaten kota, pelayanannya bisa melalui banking dan ATM. Bahkan di daerah, ada motor dari bank mitra yang datang ke pasar/rumah tangga untuk mengambil iuran. Mobile phone-register melalui bayar pulsa dapat dimanfaatkan dalam hal ini. Metode ini sudah ada di Nigeria untuk mengatasi akses geografi yang jauh. Sementara, 170 juta nomor handphone di Indonesia, hal ini bisa dimanfaatkan. Bahkan jika perlu registrasi sektor informal bisa melalui mitra seperti: seven eleven, alfamart, carefour. Teknologi lain yang bisa ditempuh yaitu melalui e-money, kartu untuk menjadi peserta (BPJS Kesehatan), bisa daftar melalui ATM. Capture peserta melalui lembaga keuangan/penyedia teknologi. Misal: e-ktp atau ijin usaha, kepala daerah tingkat satu dan dua agar pekerja informal mendapat jaminan dari Jamsostek. Kartu jaminan sosial menjadi smart card untuk BPJS Kesehatan Tenaga Kerja, telekomunikasi ke bank dan lain-lain. Kartu tersebut bisa diberi loan, akses ke merchant.

Hanung Sugihantono-Pengalaman Purbalingga. Tembakau sirih alkohol pengeluaran dominan di Purbalingga. PBI per orang per bulan 19 ribu. Apakah perlu memikirkan orang yang tidak peduli pada kesehatan? Peserta Jamkes bisa dibagi menjadi dua, yaitu PBI dan non PBI. Penduduk miskin yang di-cover Jamkesmas. Perda Jateng di level Provinsi sudah berjalan 3 tahun MOU kabupaten kota. Tahun mendatang akan mengalami integrasi ke BPJS.

Jamkesda Provinsi-pelayanan rujukan tingkat 3. Belum seluruhnya berjalan, mudah-mudahan lebih baik. 800 ribu penduduk kekhasan tersendiri. Slogan yang ditanamkan dalam masyarakat "Yang kaya membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang sakit". Mutu pelayanan dan tuntutan layanan yang lebih baik. Dari jumlah peserta yang terdaftar dalam Jamkesmas, iurnya ditarik kader dan ada lima ribu rupiah yang disisihkan untuk membayar kader. Tahapan yang berjalan di Purbalingga: sebelum 2010 untuk sosialisasi, tahun 2010 kemantapan dan 2015 kemandirian. Hingga saat ini, tinggal 11,8% dari masyarakat yang belum masuk BPJS. Komposisi pembiayaan APBD Purbalingga, APBD makin besar dan pembiayaan untuk Jamkesmas makin kecil proposinya. Bahkan, APBN tidak ada sama sekali, saat ini ditetapkan 120 ribu/KK per tahun.

Mampu dan tidak mampu ditetapkan sesuai kriteria bupati, rujukan rawat inap hanya di lokal, bukan diidentifikasi formal dan informal. Besaran biaya dan mekanisme pembiayaan yang telah berjalan baik. UHC, pekerja informal ada dalamnya karena kesehatan merupakan kebutuhan dasar. BPJS Kesehatan tempatnya dimana? Jadi harus dicari solusi terbaik. Jamsostek dan Askes harus bekerjasama.

Andi Afdal, Kepala Grup Manajemen Manfaat, PT Askes. Andi menyampaikan bahwa tugas Askes meliputi sosialisasi, memungut dan menyalurkan, mengumpulkan dan mengelola data, membayarkan manfaat, serta memberikan informasi. Iuran untuk sektor informal selama ini dibayar orang per orang. Belajar dari social marketing perbankan 60-70 tahun untuk menabung uang di bank. Maka, perlu ditanamkan dalam masyarakat bahwa bayar meski sedikit untuk asuransi kesehatan. Kemampuan dan keinginan membayar, maukah mereka membayar? Bagaimana mengoleksi premi?

Jaminan kesehatan umum ada Pemda yang bekerjasama bahkan menyerahkan ke Askes yaitu sudah 157 daerah atau 14 juta jiwa yang tertangani. Jalur sudah ada, misalnya integrasi dengan layanan publik misal listrik PAM, sms banking, namun masih butuh sosialisasi. Manfaat disampaikan riil. Hal yang di-manage ekspektasi mereka. Bisa bekerjasama dengan Alfamart, Indomaret, PT Pos dan lain-lain, chanel online banking.

Moderator sesi ini: Prof. Budi Sampurna membuka diskusi dengan policy brief sektor informal: tingkat pendapatan, apa yang diinginkan? Sektor informal yang masuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek yang membutuhkan kesehatan jumlahnya luar biasa.

Penanya pertama yaitu Prof. Muninjaya, sektor informal banyak di rural-konkrit pengalaman di Purbalingga-pendekatan di Pemda seperti apa?. Konsep kepesertaan bagus jika ada peningkatan yang terlihat baru bisa dikatakan baik.

Elvyn, paguyuban nelayan-petani menjadi anggota itu kolektif, konsep ini pertumbuhannya tidak akan cepat. Pekerja informal tidak semuanya ter-cover. Jadi kita gunakan kerjasama dengan BRI untuk meng-cover seluruh pekerja. Approach yang akan dilakukan bukan hanya di kota namun juga di desa. Sektor informal bukan komplementer. Sektor informal 70 juta jumlahnya dibandingkan yang formal.

Perluasan marketing officer, peserta jaminan sosial tidak cukup kapasitas finansial, terbatas akses, apakah bisa dilayani dengan cepat, apakah sampai edukasinya? Administrasi yang tidak mudah sebagai kelemahan. Kementrian dalam negri melalui e-ktp sehingga verifikasi tidak memerlukan biaya untuk mendekati sektor informal. Hal ini bisa dilakukan dengan koordinasi yang baik. Optimalisasi baik dengan seluruh Pemda. Harus jelas pekerja informal dengan pekerja miskin. 65% di rural, 35% di urban. Approach ke rural harus collecting. Askes join to kader kesehatan sosialisasi tentang BPJS Kesehatan. Agar masyarakat sadar hal tersebut dibutuhkan dan mereka mampu bayar. Sosialisasi masif akan banyak tampil di tv pentingnya kesadaran asuransi kesehatan.

Kemudian, Debbie menanyakan dasar yang digunakan untuk mengambil keputusan tersebut-besar biaya? Sosialisasinya bagaimana? Lebih baik melibatkan tenaga kesehatan.

Hanung, sebagai contoh Tegal telah melakukan penetapan bantuan dari Pemda berapa yang dialokasikan selama lima tahun terakhir? Itu yang dihitung. Subsidi jamkesda 2,9 juta masyarakat miskin non kuota yaitu 154 milyar di 35 kabupaten kota. Dibandingkan untuk bansos yang kurang jelas, lebih baik dialokasikan kesini.

PT Askes, IT yang digunakan Askes sudah dimulai namun belum sepenuhnya. Database Jakarta dan Surabaya untuk mencakup seluruhnya.

Penanya berikutnya yaotu Rudiarto, pedagang kaki lima Malioboro. Mampu dan tidak mampu untuk membayar bukan masalah, hal yang terpenting kurangnya minat dalam hal jaminan karena kepercayaan yang rendah. Ada mitos bayarnya mudah, klaim sulit. Jika sudah membayar, layanannya akan seperti apa? Puskesmas yang dirujuk Jamkesmas tidak mampu melayani warga secara maksimal. Empat tahun memotivasi pedagang (2500) baru 100 yang mendaftar. Askes dan Jamsostek yang berpindah ke BPJS apakah perlu registrasi ulang?

PT Askes menjawab kartu tidak perlu diganti, tetap bayar iuran seperti biasa. Data antara Askes dan Jamsostek sudah saling tukar menukar. Klinik yang ada di Jamsostek menjadi BPJS Kesehatan.

Elvyn, yang dialihkan dalam BPJS ini : peserta, program dan provider kesehatannya. Manfaat apa yang sudah diterima sekarang, akan tetap seperti itu namun dilengkapi dengan manfaat tambahan.

Kapasitas RS tidak akan maksimal memberikan pelayanan. Tantangan kepercayaan bukan hal yang mudah. Edukasi, rajin bayar iuran, menghindari high risk social. Harus banyak skenario untuk menangkap solusinya. Perlu tidak uji coba dengan alternatif yang ada?

Konferensi Pers Forum Tingkat Tinggi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Konferensi Pers Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara
untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Dalam konferensi pers Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara, Prof. Ali Ghufron Mukti menyampaikan menegaskan pentingnya sektor informasl masuk dalam BPJS yang akan beroperasi 1 Januari 2014. Hal tersebut disampaikan Wamenkes pada Senin (30/9/2013) di depan rekan media di RoyaL Ambarukmo Hotel, Yogyakarta. Didampingi Anggota DJSN yaitu Dr. Bambang Purwoko, Prof. Ali menyampaikan tujuan digelarnya forum tingkat tinggi ini untuk belajar dari 10 negara lain yang telah mengimplementasikan universal health coverage.

Para pejabat baik pusat dan daerah, disusul expert dari banyak negara, akademisi, wakil masyarakat dari sektor informal, serta peneliti berkumpul dengan tujuan yang sama. Sisa waktu yang ada tinggal 93 hari, lalu kesiapan dan langkah strategis apa yang bisa dilakukan semua pihak? Hingga saat ini, masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Bukan hanya persiapan, namun juga dorongan banyak pihak yang dibutuhkan agar BPJS berjalan dengan lancar. Silahkan simak laporan reportase mengenai acara ini melalui website ini atau klik di siniklik di sini

Reportase sesi 1

Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara
untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal
Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Pembukaan Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara untuk Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilakukan pada Senin (30/9/2013) di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta. Acara dibuka secara seremonial dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya kemudian dilanjutkan tari Gambyong yang dibawakan oleh mahasiswa dari Unit Kesenian Jogja Gaya Surakarta (UGM).

Kemudian, Ketua Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) menyampaikan sambutan, forum ini untuk menemukan rencana aksi dan cakupan pilot project untuk sektor informal. Indonesia. Dalam hal ini, jumlah sektor informal I Indonesia lebih besar, hal serupa terjadi juga di Thailand dan Filipina. Acara ini dihadiri oleh pembuat kebijakan dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementrian Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Keuangan, Kementrian Kesehatan, Bappenas. DPR, peneliti akademisi dan wakil sektor informal. Panitia juga mengundang narasumber dari negara lain seperti Filipina, India, Thailand, AS, Inggris, dan lain-lain. GIZ, WHO, Bank Dunia, WHO merupakan lembaga donor yang mendukung terselenggaranya acara ini.

Wamenkes Prof. Ali Ghufron menyampaikan dalam definisinya definisi istilah sektor informal yang terkait dengan jaminan kesehatan (tantangan). Apakah pemerintah membayar atau UU yang mengatur siapa yang disubsidi apakah hanya orang miskin? Sehingga, hasil forum untuk diperhatikan pemerintah daerah dan pusat. Saat ini atau 93 hari menuju BPJS (integrated one single scheme), regulasi mana yang telah selesai, yang siap diimplementasikan. Kemungkinan Indonesia akan menjadi single payment terbesar di dunia. Dorongan dari semua pihak akan menjamin berjalannya BPJS, namun pelaksanaanya masih mengalami kesulitan di sektor informal.

Diskusi Panel : Isu-Isu Penting Apa Saja Terkait Apa Saja Sektor Informal Indonesia?

sesi1-all

Diskusi panel yang pertama ini disampaikan oleh Dr. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA (Wamen Perencanaan Pembangunan Nasional), Prof. Ali Ghufron Mukti (Wamen Kesehatan), Prof. dr. Bambang Purwoko, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Iskandar Maulana, wakil dari Pembinaan Hubungan Industrial, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sesi ini dimoderatori oleh Tantri Murdopo, Anchor Metro Tv.

Kasali Situmorang dalam bukunya pernah menyampaikan bahwa perlu dicari jalan terbaik untuk Indonesia (Jaminan Sosial). indonesia-jalan yang terbaik untuk Indonesia. Sejauh ini, definisi sektor informal merujuk pada mereka yang bekerja namun tidak mendapat hubungan kerja yang jelas dan tidak mendapat jaminan. Dr. Nafsiah Mboi, Menkes RI menyampaikan 72% pekerja formal sudah ter-cover jaminan sosial dan 28% merupakan pekerja informal. Dalam hal ini, kemampuan membayar, kemauan atau kesediaan untuk membayar masih menjadi dua hal yang penting untuk didiskusikan.

lukitaDr. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wamen Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan SJSN tidak bisa secara massal, namun harus bertahap. Dalam hal ini, pelaksanaanya memerlukan sistem SDM yang terencana (transformasi), transfer dari Jamsostek ke BPJS kesehatan, integrasi Jamkesmas ke Jamkesda, perluasan ingin mencakup UHC dari Jaminan Sosial.

Tujuan utamanya: mampu menjamin kesehatan masyarakatnya dan supaya menjadi negara yang maju-cerdas dan sehat. Hingga saat ini masih sekitar 85% pekerja informal masih menerima upah dalam bentuk tunai. Kemudian, masih terjadi gap pelayanan di Puskesmas, kesenjangan jumlah dokter-bidan-nakes di daerah. Tujuan utama yang ingin diraih Jamkesmas yaitu membantu kesehatan yang tidak mampu.

Pilihan strategi pelaksanaan BPJS, diantaranya contributory (namun database harus baik), non contributory (Korsel-Filipina) jika di Indonesia dilakukan makin banyak yang akan masuk ke informality, kombinasi keduanya (Vietnam-Cina) ada beberapa sektor yang didukung pemerintah di Cina untuk sektor pertanian.

Hal lain yang ingin diraih ialah perluasan kepesertaan. Survei Bappenas-48% masyarakat tidak tahu tentang Jaminan Kesehatan dan banyak yang tak tahu fungsi Jamkes. Maka, diperlukan beberapa langkah yang harus diambil, pertama, sosialisasi edukasi salah satunya terkait manfaat yang diperoleh dari Jamkes mutlak diperlukan. Iuran itu untuk membayar dan bermanfaat. Masih ada perbedaan bagaimana membayarnya (tiap bulan atau seperti apa?). selain itu, perlu dilakukan lebih jauh sosialisasi untuk mengurangi beban-hidup sehat bersih yang harus digalakkan stakeholders. Kondisi keuangan negara-pemerintah meng-cover penduduk yang tidak mampu sekitar 86,4 juta atau 36% penduduk terbawah. Jamkesda meng-cover yang tidak masuk di Jamkesmas. Kedua, manfaatkan lembaga sosial masyarakat-dasar hukum dan tata kelola karena jaminan memerlukan kepercayaan. Mungkin masyarakat tidak mau membayar karena kurang percaya, apa yang akan mendapatkan layanan tersebut. Maka, dibutuhkan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, uji coba alternatif strategi dan evaluasi. Mana yang cocok dengan situasi Indonesia.

Wamenkes Prof. Ali Ghufron MuktiProf. Ali Ghufron Mukti-Wamenkes RI menyampaikan Resolusi PBB No 67 Tahun 2012 untuk mewujudkan UHC. Indonesia sudah mencoba aktif berpartisipatsi dalam WHO dan Bank Dunia tingkat Asia. Sejak diberlakukannya Jamkesmas, jaminan dan pemanfaatnya meningkat tajam. Tahun 2012 sekitar 76,4 juta orang dan tahun 2013 sekitar 86,6 juta.

Isu-isu penting : pertama tentang definisi-stuktur atau mandiri terkait pajak dan lain-lain. Kedua, siapa yang bertanggung jawab membayar premi? Bagaimana sektor informal Filipina masuk dalam skema. 5% dari APBN idealnya untuk jaminan. Amanat UU Kesehatan-perlu dibuat keputusan strategis untuk sektor informal. Jika ada pertanyaan, sesuai tidak dengan yang diharapkan? Ada sekitar 19,9 Trilyun untuk peserta jamkesmas (86.4 juta). Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu kesehatan ibu dan anak-Jamkesmas dan Jamkesda masyarakat harus'membayar biaya kesehatan. Klaim untuk jaminan ini masih sulit dan dana yang dari Pusat terpotong di tingkat daerah.

Prof. dr. Bambang Purwoko, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rumusan kebijakan Pasal 6 UU No 20 Tahun 2004 SJSN. Informal sejak Orba-dulu menjadi andalan saat krisis-devaluasi rupiah atas dolar. Ada unsur ketidakpastian beroperasi tidak pasti penghasilannya. Mau tidak mau ada keputusan politik dari pemerintah. Secara ekonomi, 70% sudah tidak seimbang. UKM jika terdaftar maka GDP 8000 Trilyun akan lebih banyak lagi. Masalah kepegawaian sejak Orba masih belum ditata hingga hari ini. Harus ada transformasi dari informal ke formal.

Saat beroperasi pajak masuk ke negara. Jika lebih dari enam bulan tidak beroperasi, maka akan terdaftar dalam PBI. Pertama, political will. Kedua, transformasi mengubah pekerja informal ke formal 3,4-18,75% tergantung APBN-dana yang berkelanjutan karena ada penuaan performance product. 2030 kemungkinan masyarakat membayar BPJS Kesehatan. 2050 sudah ada reserved fund atau dana cadangan.

Masalah: pekerja Upah Minimum Provinsi-upah masih bermasalah. Jaminan sosial merupakan variabel tergantung dari pekerja, kualitas dari pajak. Perlindungan jangka panjang harus difasilitasi. Masyarakat yang ter-PHK langsung free fall menjadi informal.

Iskandar Maulana, wakil dari Pembinaan Hubungan Industrial, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sektor informal butuh ketegasan dari pemerintah. Modal kecil, ketrampilan terbatas, rentan resiko sosial, merupakan tiga kelemahan sektor informal. Sulitnya dari informal ke formal, pendidikan rendah-53 juta orang masih berpendidikan SD (informal). Kesempatan terbuka dalam dan luar negri. Pencari kerja dapat kerja yang tepat. Serikat Buruh belum masuk ke jaminan sosial. Sektor informal upah minimum bagi tenaga kerja 0-12 bulan bagi sektor yang terkecil-mikro dan UKM. Upah minimum salah kaprah, harusnya di atas upah minimum.

Penanya yaitu Oda Muchtar (Institut Jaminan Sosial Indonesia) menyampaikan 86 juta peserta JKN dibayar PBI. Menurut data dari Kementrian UKM, 52 juta UKM diduga informal sektor. Bagaimana supaya informal masuk ke Jaminan Sosial. Perpres 46 tahun 2013 pajak untuk UKM 1% dari aset sekitar 5-14 juta minimum setahun. Iuran JKN 500 ribu untuk saving plan. Insentif untuk UKM-membayar pajak. Jadi ada pemasukan dulu baru dialokasikan untuk insentif.

Prof. Ali Ghufron: Bagaimana pajak bisa dikumpulkan? Ekslporasi sumber pembiayaan? 270 M per tahun dari rokok. 270 T dari rokok jika pajaknya dinaikkan bisa mengcover Jaminan Sosial. Sosialisasi tugas pemerintah, media massa dan masyarakat. Khususnya TV terberdaya untuk sosialisasi.

Dr. Lukita, sampai 2019 untuk pencapaian BPJS. Data yang dibutuhkan harus jelas lalu marketing harus independen. Untuk hal-hal tertentu misalnya pensiun ada kewajiban iur. Informal komitmen dari pemerintah. BPJS Ketenagakerjaan saving plan untuk sektor informal.

Bambang-UU SJSN asas keadilan dan gotong royong. Gotong royong : getting benefit, ini salah kaprah, yang benar membayar iur karena ada manfaat yang diperoleh masyarakat.

Prof. Ali Ghufron-roadmap leaflet seminar poster untuk sosialisasi. Sudah dilakukan intensif. Join dengan DJSN dan pemda untuk sosialisasi BPJS. Dengar sudah, kewajiban dan hak belum diketahui secara umum.

Dr. Lukita, Jamkesda-kontribusi sektor informal. Contributory-amanat UU. Untuk kondisi Indonesia saat ini: model kombinasi yang tepat. Ali Ghufron sektor informal bisa dicover pemerintah. Model pembiayaan-bagaimana ke depannya? Mana yang lebih tepat.

Program SJSN ada 5, yang untuk sektor informal tercakup kesehatan-kematian prematur, jaminan hari tua (saving plan).

Isu poin: pertama, sosialisasi-banyak yang belum mau membayar iuran, bagaimana dengan daerah lain yang belum terjangkau. Kedua, bagaimana sistem pembayarannya? Foemulasi terbaik untuk masyarakat Indonesia hak dan kewajibannya.

Seminar Paket Rekomendasi Kebijakan untuk penurunan Kematian Ibu dan Bayi

Kerangka Acuan
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM dalam program
Pengembangan Konsultan Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak
untuk mengurangi kematian ibu dan bayi menyelenggarakan:

Seminar
Paket Rekomendasi Kebijakan untuk Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
( 29 Oktober 2013 di Gedung Granadi di Jakarta)

dan

Workshop Pengembangan Konsultan Manajemen dan
Tenaga Ahli untuk Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
(30 Oktober 2013 di Kampus FK UGM Yogyakarta)

dapat diikuti dengan Live Streaming melalui:

www.kebijakankesehatanindonesia.net
atau
www.kesehatan-ibuanak.net 

  Pendahuluan

Pada akhir bulan September 2013, keluar sebuah berita yang mengejutkan: MDG bertambah. SDKI 2012 memberikan hasil angka kematian ibu (AKI) mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Rata-rata kematian ini jauh melonjak dibanding hasil SDKI 2007 yang mencapai 228 per 100 ribu. Dalam hal ini, meningkatnya AKI ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui, target MDGs adalah 108 per 100 ribu pada 2015. Angka ini memang kontroversial di tingkat pemerintahan sendiri ada yang menolak, namun ada yang menerima.

Di luar kontroversi data ini, salah satu hal penting adalah bagaimana kita mensikapi permasalahan ini. Dengan menggunakan data kematian absolut, di berbagai propinsi memang terjadi kenaikan jumlah kematian ibu. Hal ini yang perlu dibahas. Mengapa terjadi peningkatan kematian ibu? Apakah kebijakan penanganan sudah tepat? Apakah strategi pelaksanaan kebijakan sudah baik di lapangan?

Setelah 4 tahun melakukan kegiatan operasional di NTT dan DIY serta Papua (lihat lampiran 1), PKMK FK UGM mengambil berbagai kesimpulan yang dirangkum dalam usulan Paket Kebijakan untuk mengurangi kematian ibu dan bayi dalam usaha menuju ke perbaikan pencapaian MDGs. Paket kebijakan mencerminkan berbagai kondisi daerah dimana DIY mewakili daerah maju, NTT daerah sulit, dan Papua merupakan daerah yang sangat sulit. Inti paket kebijakan adalah mengacu pada integrasi hulu dan hilir (preventif dan kuratif), penggunaan data absolut agar secara real time terjadi perubahan sikap dan "peningkatan adrenalin" untuk usaha penurunan kematian, perbaikan sistem rujukan dan mutu pelayan klinik, dan dukungan seluruh pihak untuk intervensi kebijakan yang multi disiplin. Pengalaman tersebut juga menunjukan bahwa dalam usaha penurunan kematian ibu dan bayi, diperlukan adanya tim konsultan manajemen dan tenaga ahli yang aktif bekerja.

Dalam konteks situasi pemburukan ini, PKMK FK UGM mengajak pemerintah pusat (Bappenas, Kemenkes, DPR Komisi Kesehatan, Menko Kesra), Pemerintah propinsi dan kabupaten, LSM-LSM kesehatan, Asosiasi Rumahsakit dan Dinas Kesehatan, ikatan profesi, serta para akademisi, peneliti, dan konsultan untuk berfikir ulang mengenai strategi kebijakan MDGs. Perlu ada perbaikan kebijakan dan perubahan strategi untuk mengurangi kematian ibu dan bayi. Perdebatan mengenai metode pengukuran kematian ibu sebaiknya jangan sampai berlarut-larut. Saatnya bangsa Indonesia menatap ke depan dengan mempelajari masa lalu dan masa kini.

Perubahan strategi ini perlu didukung oleh ketersediaan tim konsultan manajemen KIA yang membantu DInas Kesehatan/Pemerintah Propinsi-Kabupaten-Kota dan Kementerian Kesehatan untuk menurunkan kematian ibu dan bayi. Sayang, sampai saat ini belum banyak lembaga konsultan manajemen yang berfokus pada penurunan kematian ibu dan bayi.

 Kegiatan:

Kegiatan 1: Di Jakarta

  1. Seminar mengenai Rekomendasi Kebijakan untuk pengurangan angka kematian ibu dan bayi
  2. Peresmian website khusus KIA untuk penurunan kematian ibu dan bayi: www.kesehatan-ibuanak.net 

Kegiatan 2: Di Yogyakarta

  1. Workshop Pengembangan Konsultan Manajemen dan Tenaga Ahli untuk Menurunkan Kematian Ibu dan Bayi Di Kabupaten

 

  Tujuan:

Seminar di Jakarta

  1. Menyajikan Rekomendasi Kebijakan pengurangan kematian ibu dan bayi untuk kegiatan di Kabupatan, Propinsi, dan Nasional.
  2. Rekomendasi kebijakan ini mencakup kebijakan hulu dan hilir.
  3. Mengembangkan pemahaman mengenai peran, posisi dan kemampuan Technical Assistance/Konsultan untuk penurunan kematian ibu dan bayi di perguruan tinggi.
  4. Mengembangkan berbagai pola pengembangan melalui penggunaan web sites dan teknologi telematika untuk pengurangan kematian ibu dan bayi

Workshop di Yogyakarta

  1. Membahas pengembangan Tim Konsultan Manajemen dan Ahli Teknis KIA di Propinsi dan Kabupaten. Apakah bertumpu di Perguruan Tinggi atau lembaga Swasta? Apabila berada di perguruan tinggi, siapa saja anggotanya dan bagaimana struktur dan proses kegiatannya?
  2. Membahas Proses Bekerja Tim Konsultan (lampiran 2)
  3. Membahas Sumber Pendanaan Tim Konsultan
  4. Memulai kegiatan pengembangan.

 

  Peserta

Seminar   : diharapkan dari para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah serta dari tim perguruan tinggi*.
Workshop : diharapkan dari tim perguruan tinggi* dan lembaga konsultan swasta yang berminat

*Tim perguruan tinggi terdiri dari:

  1. Ahli kesehatan Masyarakat
  2. SpOG
  3. SpA
  4. Promosi Kesehatan
  5. Ahli Pembiayaan Kesehatan

 

  Tempat, Hari-Tanggal, dan Jadwal Kegiatan

Seminar: Gedung Granadi Jakarta, Selasa 29 Oktober 2013, 12:00-15:00

Jam

Topik

Fasilitator

12:00-13:00

Makan Siang

 

13:00-13:05

Pengantar

Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

13:05-13:15

Paket Rekomendasi Kebijakan untuk Penurunan AKI-AKB: Berdasarkan Pengalaman PKMK FK-UGM selama 4 tahun di DIY, NTT dan Papua

Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

13:15-13:25

Pendekatan Hilir dalam Intervensi KIA

  Dr. Rukmono SPoG

13:25-13:35

Pendekatan Kebijakan Hulu mendekati Hilir

  Dr. Sitti Noor Zaenab, MKes

13:35-14:45

Diskusi

Moderator:

Dr. Hanevi Djasri MARS

14:45-15:00

Kesimpulan

 

15:00-15:30

Launching Website KIA: www.kesehatan-ibuanak.net  sambil coffee break)

pengembangan berbasis web

 

15:30-16:15

Diskusi Tim Perguruan Tinggi

 

16:15-16:30

Penutup

 

 

Workshop: Ruang Senat Kampus FK-UGM, Yogyakarta, Rabu 30 Oktober 2013, 08:00-15:00 

WAKTU

ACARA

FASILITATOR

08.00 – 08.30

Registrasi Ulang

08.30 – 09.00

Pembukaan & Pengantar Workshop

dr. Hanevi Djasri, MARS

Sesi 1

09.00 – 09.30

Langkah-langkah Pengembangan Kegiatan Konsultasi KIA

dr. Hanevi Djasri, MARS

09.30 – 10.00

Diskusi Kelompok I

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

10.00 – 10.30

Presentasi Kelompok

10.30 – 11.00

REHAT

Sesi 2

11.00 11.30

Pengembangan Tim dan Pembelajarannya

Dr. dr. Dwi Handono S., MKes

11.30 – 12.00

Diskusi Kelompok II

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

12.00 – 12.30

Presentasi Kelompok

12.30 – 13.30

ISHOMA

Sesi 3

13.30 – 14.00

Identifikasi calon klien dan sumber pendanaan

dr. Hanevi Djasri, MARS

14.00 – 14.30

Diskusi Kelompok III

Fasilitator Kelompok A

Faozi Kurniawan, SE, Akt, MPH
dr. Hanevi Djasri, MARS
Nasyiatul Aisyah Salim, SKM, MPH
Digna Niken P., S.Gz, MPH

Fasilitator Kelompok B

Deni Hardianto, SE, Akt
dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes
Armiatin, SE, MPH
dr. Likke Putri, MPH

Fasilitator Kelompok C

Yos Hendra, SE, Akt, MM
dr.Tiara Marthias, MPH
Drg. Puti Aulia Rahma, MPH
DR. dr. Dwi Handono, M.Kes

14.30 – 15.00

Presentasi Kelompok

Sesi 4

15.00

PENUTUP

dr. Hanevi Djasri, MARS

 

Biaya

Seminar:

  1. Tatap muka Rp 200.000,- per orang (penggati makan siang sebesar)
  2. Jarak jauh (streaming) Rp. – (tidak dipungut biaya)

Workshop

  1. Tatap muka Rp 4.000.000,- per tim (5 orang)
  2. Jarak jauh (streaming) Rp. 2.500.00,- per tim (5 orang)

 

  Pendaftaran

Angelina Yusridar / Hendriana Anggi

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, Fakultas Kedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile : +628111409442 / +6281227938882
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.; This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 


Lampiran 1: Pengalaman PKMK FK-UGM

Peningkatan kematian ibu sudah diduga sejak lima tahun yang lalu. Pada tahun 2009, kelompok studi MDGs Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM memprediksi bahwa ada kemungkinan terjadi stagnasi dan bahkan pemburukan situasi. Dilakukan analisis kebijakan KIA. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa ada ketidak logisan dalam kebijakan KIA. Berbasis analisis ini, sejak tahun 2009, PKMK FK UGM melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan yang tujuan utamanya untuk langsung memberikan dampak pada kematian ibu dan bayi.

Kegiatan-kegiatan tersebut adalah: Riset Operasional mengenai Sister Hospital dalam kerangka Revolusi KIA NTT untuk meningkatkan kemampuan PONEK RS, dukungan terhadap PONED Puskesmas, pengembangan SDM KIA di NTT, sampai penyusunan manual rujukan kesehatan ibu dan anak. Kegiatan ini bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi NTT, Kemenkes, dan AusAId dalam program AIPMNH. Kematian Ibu secara absolut di NTT menurun. Pada tahun 2010: 252, tahun 2011: 208, dan tahun 2012: 172. Jika angka absolut diubah menjadi rates, akan menjadi: 288 (tahun 2010), 222, dan 177(tahun 2011). Sumber data adalah: Laporan F1 – F8 Thn dan Laporan Indikator Antara Revolusi KIA NTT 2010-2012 Kab/Kota melalui Bidang Kesmas Dinkes NTT

Sejak tahun 2011 dilakukan kerjasama dengan pemerintah Propinsi DIY dan Kementerian Kesehatan untuk penurunan kematian ibu dengan menggunakan pendekatan surveilans-respon kematian ibu-bayi dan penyusunan manual rujukan. Kegiatan dilakukan karena data absolut menunjukkan peningkatan (tahun 2009: 36 kematian menjadi 56 di tahun 2011). Setelah hampir dua tahun DinKes Porpinsi dan Kabupaten/Kota melakukan kegiatan dengan penekanan pada surveilans kematian dan respon ketat, ada perubahan yang tercatat. Pada tahun 2012, kematian ibu jumlahnya 41, dan pada tahun 2013 (sampai bulan September) adalah 26. Sumber data: Dinas Kesehatan Propinsi DIY.

Pengembangan di Papua dilakukan bekerjasama dengan UNICEF untuk Perencanaan Berbasis Bukti dan USAID untuk peningkatan kinerja Puskesmas. Kegiatan ini masih berupa pengembangan input dan infrastruktur untuk kesehatan ibu dan anak melalui perencanaan dan prinsip peningkatan kinerja. Dimulai sejak tahun 2012. Kegiatan ini belum banyak dihubungkan dengan penurunan atau peningkatan kematian.

Lampiran 2: Konsultan Manajemen dan Tenaga Ahli KIA

Dibayangkan di sebuah kabupaten, tim konsultan ini melakukan kerjasama dengan pemerintah kabupaten setempat dengan kontrak multi-years. Janji atau target tim konsultan adalah dalam waktu 3 – 5 tahun dapat menurunan kematian ibu dan bayi melalui perubahan cara kerja program kesehatan ibu dan anak di kabupaten tersebut.

Tim ini mempunyai anggota yang multi disiplin, antara lain:

  1. Ahli manajemen pelayanan kesehatan
  2. Dokter Spesialis Obsgin atau dokter umum yang memahami masalah kebidanan dan kandungan, atau bidan;
  3. Dokter Spesialis Anak atau dokter umum yang memahami masalah kesehatan anak;
  4. Ahli epidemiologi;
  5. Promotor kesehatan.

Tim bekerja dengan klien pemerintah daerah dan berbagai pihak terkait di kabupaten, misalnya: tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM, POGI setempat, IDAI setempat, IBI setempat, IDI setempat, dan berbagai kelompok masyarakat.

  1. Pengembangan Tim Konsultan Manajemen dan Ahli Teknis KIA di Propinsi dan Kabupaten. Apakah bertumpu di Perguruan Tinggi atau lembaga Swasta? Apabila berada di perguruan tinggi, siapa saja anggotanya dan bagaimana struktur dan proses kegiatannya?
  2. Proses Bekerja Tim Konsultan.

    Pra-Kontrak:
    1. Melakukan pendekatan ke Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten mengenai perlunya tim konsultan manajemen dan ahli teknis KIA untuk menurunkan kematian ibu dan bayi
    2. Menyusun perjanjian kerjasama yang bersifat multi-year dengan pemerintah kabupaten dan proponsi dengan dukungan Kementerian Kesehatan.

      Di dalam Kontrak:
    3. Melakukan analisis kebijakan KIA di propinsi dan kabupaten yang bersangkutan
    4. Melakukan Perencanaan Berbasis Bukti dan menyusun Strategi Pengembangan dengan indicator kinerja Jumlah Kematian Absolut. Penurunan jumlah kematian absolut yang sebenarnya merupakan indicator keberhasilan Tim Konsultam.
    5. Penentuan Strategi Pengembangan dengan menggunakan pemetaan intervensi dari hulu ke hilir
    6. Melakukan Monitoring dan Evaluasi kebijakan, strategi dan program yang dijalankan. Pasca Kontrak
    7. Melakukan Monitoring kegiatan secara independen dan terus menerus.
       
  3. Sumber Pendanaan Tim Konsultan:
    1. APBN: Dana dekonsentrasi
    2. APBD: Tenaga ahli
    3. Sumber dana luar negeri
    4. Corporate Social Responsibility
    5. Dana pengabdian dan penelitian dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

 

Angka Kematian Ibu (AKI) dari SDKI yang meningkat tinggi di tahun 2012 (359)

Untuk bahan pembahasan, kami berharap teman-teman dapat melihat di website www.kebijakankesehatanindonesia.net  yang melaporkan isi pertemuan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan dalam rangka KONAS IAKMI pada awal bulan September lalu di Kupang. Pada pertemuan tersebut memang angka SDKI belum keluar, namun kami sudah mendengar "bocoran" namun tidak berani menggunakan kata "melonjak tinggi". Kami menggunakan kata stagnasi, yang memang sudah diduga sejak 5 tahun yang lalu.

Silahkan klik pada link berikut: http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/1883.html 

Anda dapat membaca laporan

SESI I.1

Analisis Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Berbagai Daerah : Bagaimana data Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia. Mengapa Terjadi Stagnasi Program?

Jadual diskusi yang akan diselenggarakan di miling-list ini adalah: asd

    • Senin 30 September – Sabtu 5 Oktober 2013: Diskusi mengenai kebijakan KIA selama ini di Indonesia
    • Senin 7 Oktober – Sabtu 12 Oktober 2013: Diskusi mengenai Pemetaan Intervensi yang efektif untuk pelaksanaan kebijakan KIA
    • Senin 14 Oktober – Sabtu 19 Oktober 2013: Diskusi mengenai Policy Brief di Hulu
    • Senin 21 Oktober – Sabtu 26 Oktober 2013: Diskusi mengenai Policy Brief di Hilir.

Selasa 20 Oktober 2013: Diskusi tatap muka di Jakarta dan pembahasan strategi pelaksanaan policy brief.

Diteruskan dengan persiapan untuk pelaksanaan strategi baru penurunan kematian ibu dan bayi untuk tahun 2014 dan 2015 bagi daerah yang sukarela ikut. Diskusi persiapan ini akan dilakukan dan mengajak:

  1. Kemenkes
  2. Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupatan yang bersedia
  3. Tim Pendamping ahli dari Perguruan Tinggi di berbagai daerah/lembaga swasta yang bersedia menjadi konsultan.

Dengan strategi ini diharapkan diskusi di miling-list ini dapat memberikan inspirasi bagi para Agent of Change di daerah untuk mencoba mempraktekkan strategi baru di daerah masing-masing.

Siapa Agent of Change di daerah?

  1. Pemerintah Daerah: Bupati/Walikota, DInas Kesehatan, Direktur RSUD, Kepala Dinas lain di luar kesehatan yang terkait, anggota DPRD, dll
  2. Swasta/Masyarakat: Tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM, POGI setempat, IDAI setempat, IBI setempat, IDI setempat, dan berbagai kelompok masyarakat
  3. Tim pendamping dari Perguruan Tinggi yang tersusun dari: ahli manajemen kesehatan masyarakat, dokter spesialis obsgin, dokter spesialis anak, bidan, ekonom pembangunan, promotor kesehatan dan ahli lain yang terkait dengan strategi.

Dalam pelaksanaannya nanti diperlukan para pemimpin dari berbagai profesi di daerah yang sadar bahwa kematian ibu dan bayi harus dikurangi secara radikal, dengan kegiatan nyata di lapangan. Tidak hanya bicara di seminar, adu argument ilmiah tanpa bukti di lapangan, ataupun saling menyalahkan di media.

Terimakasih atas perhatiannya.
Daftarkan diri anda (jika belum) di miling-list desentralisasi kesehatan. Pendaftaran pada saudari Heny Rohmi

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. 

Kami tunggu komentar anda di miling list desentralisasi kesehatan.

Reportase NCD day 2

Persiapan Pelayanan Kesehatan dan Sistem Di Masyarakat
untuk Penanggulangan Penyakit Tidak Menualar

r2ncdDok. PKMK: Penutupan Rangkaian Kegiatan dengan Pemberian Penghargaan pada Pemenang Presentasi Poster

Sesi ini di moderatori oleh Dr. Yayi Suryo Prabandari, pembahasan mengenai tantangan dan penanggulangan penyakit tidak menular tidak hanya dapat ditangani dengan cara-cara tradisional. Diperlukan inovasi dan pendekatan yang lebih untuk menghadapinya. Salah satu inovasi yang diungkap dalam seminar ini adalah sistem informasi kesehatan dan pendekatan sistem kemasyarakatan.

dr. Lutfan Lazuardi, PhD mencontohkan dengan inovasi di sistem teknologi informasi kesehatan. Misalnya, penerapan telemedicine di Swedia, dimana dokter dan pasien dapat berkomunikasi dan melakukan pemeriksaan dari jarakjauh.

Penjelasan tersebut ditambahkan oleh Dr. Maria Nillson dengan pengembangan sistem berbasis masyarakat untuk mengontrol penyakit tidak menular di Vasterbotten, Swedia. Dengan pendekatan ini, kita akan mendapatkan potensi yang maksimal dari masyarakat, kekuatan dalam kapasitas serta keberlanjutan kegiatan akan lebih pasti.

Bagaimana cara penguatan sistem dimasyarakat terutama di negara berkembang ? Hal ini dibahas oleh Dr. Fatwa Sari Tetra Dewi dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya pada pengalaman program pengurangan penyakit jantung di Yogyakarta (Proriva).

Dua sesi berikutnya adalah presentasi poster.Kegiatan poster diikuti lebih dari 20 peserta dari berbagai negara. Menarik, mereka saling bertukar pengalaman dalam penanggulangan penyakit tidak menular, banyak poster membahas tentang kontrol rokok, obesitas, dan gizi. Diakhir kegiatan, tiga presenter poster terpilih sebagai pemenang dan penghargaan pada satu presenter yang mengangkat tentang hak asasi manusia.

Sintesis internasioanal simposium disampaikan oleh dr. Yodi Mahendradata, PhD, salah satu pesannya bahwa penanggulangan penyakit tidak menular memerlukan dukungan system kesehatan yang baik untuk itu kita tidak bisa menghindarkan diri dari politik. Senang tidak senang kita harus memperjuangkan penyakit tidak menular dengan dukungan kebijakan dan politik. Selain juga, dukungan inovasi dan penguatan sistem di masyarakat.

 

 

Forum Internasional Expanding Coverage for Formal Sector

sponsor

Kerangka Acuan

Forum Tingkat Tinggi Pembelajaran Antar Negara untuk
Perluasan Cakupan Sektor Informal Menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta

 

 Latar Belakang

Banyak negara di dunia, dan yang tergabung dalam Joint Learning Network for Universal Health Coverage (JLN) sedang berupaya menuju Cakupan Kesehatan bagi seluruh penduduknya (UHC), termasuk Indonesia, Filipina, Thailand, China dan Korea. Umumnya Jaminan kesehatan bagi pegawai pemerintah, tentara/polisi, pegawai swasta formal dan masyarakat miskin sudah ada mekanisme yang mengatur dan sudah berjalan meskipun masih ada kendala di lapangan. Hal yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana mencakup masyarakat di sektor informal dan atau hampir miskin seperti petani, nelayan, supir, pedagang kaki lima, dsb.

Khusus untuk Indonesia, hal itu merupakan tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan masukan dari berbagai pihak mengingat bahwa BPJS Kesehatan akan mulai dilaksanakan pada tahun 2014. Semua warga negara Indonesia termasuk pekerja informal dan formal pada akhir tahun 2019 akan mendapatkan jaminan kesehatan. Namun keadaan saat ini, sejumlah besar pekerja sektor informal belum tercakup dalam jaminan kesehatan. Meskipun ada perluasan Jamkesmas dari 76,4 juta orang menjadi 86,4 juta yang akan dicakup BPJS tahun 2014, sejumlah besar pekerja sektor informal ini masih belum tercakup jaminan kesehatan.

Pekerja sektor informal adalah pekerja yang tidak mendapatkan gaji (unsalaried) dan tidak memiliki hubungan formal perusahaan-karyawan atau disebut sebagai pekerja di Luar Hubungan Kerja (LHK). Ada sekitar 73,2 juta orang di Indonesia termasuk dalam kategori pekerja sektor informal (diantaranya 53,2 juta mendapatkan upah dan 20 juta lagi tidak mendapatkan upah). Menurut Informal Economy Study (IES)1 tahun 2011/2012, sekitar 31,2 juta pekerja sektor informal (yang mendapat upah) tidak akan ditanggung jaminan kesehatan pada tahun 2014.

Persoalan yang perlu diperhatikan adalah, akan ada sejumlah besar pekerja informal yang tidak termasuk dalam kategori penerima bantuan iuran, harus membayar iuran/kontribusi kepada BPJS Kesehatan, termasuk pekerja informal yang dekat titik cut off (pemisah antara wajib membayar dan tidak); yaitu dengan hanya sedikit peningkatan pendapatan akan mengakibatkan mereka harus membayar iuran/kontribusi secara penuh dan begitu pula sebaliknya. Di sisi lain, jika semua pekerja sektor informal mendapat subsidi bantuan iuran, maka akan terjadi orang dengan kemampuan membayar yang sama akan diperlakukan secara berbeda berdasarkan status hubungan kerja mereka (formal vs. informal). Dan, seperti yang Wagstaff (2012) telah temukan di Thailand, kontribusi pemerintah ternyata mendorong terjadinya informalisasi yang lebih besar.

Kemampuan membayar dan kemauan membayar iuran jaminan kesehatan merupakan dua isu yang perlu diperhatikan. Masyarakat belum beranggapan bahwa iuran sebagai sesuatu hal yang baik. Hal ini dilihat dari masih tingginya pengeluaran langsung (out-of-pocket),serta belum maksimalnya penggunaan fasilitas layanan (mungkin belum memenuhi kualitas yang diinginkan).

Di sisi sektor keuangan, iuran jaminan kesehatan diperlukan untuk menjamin kebijakan fiskal yang sehat dan sebagai komplemen terhadap anggaran pemerintah yang terus meningkat untuk sektor kesehatan dan subsidi jaminan kesehatan masyarakat miskin.

Oleh karena itu beberapa kalangan berpendapat bahwa strategi yang komprehensif diperlukan untuk menangani masalah sektor informal, yakni meliputi konseptualisasi, kebijakan implementasi, perencanaan, pemasaran sosial, partisipasi, dan metode pengumpulan iuran. Unsur-unsur strategi implementasi dapat diujicobakan di beberapa daerah, dengan mempertimbangkan keragaman sektor informal dalam hal karakteristik sosial ekonomi, sosial budaya dan daerah. Beberapa pemikiran yang sering mengemuka antara lain, apakah kebijakan iuran/kontribusi atau subsidi, atau beberapa kombinasi akan digunakan untuk mencapai target cakupan Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2019.

 

  Tujuan

Sesuai dengan pendekatan countres practice learning to learning practice dalam JLN, forum ini bertujuan:

  1. Mengkaji isu mengenai perluasan cakupan kesehatan dengan fokus pada masyarakat hampir miskin dan sektor informal berdasarkan pengalaman antar negara
  2. Mempresentasikan isu-isu dan pendekatan dari negara masing-masing, dan mendiskusikan solusi yang mereka tempuh untuk mengatasi masalah cakupan kesehatan semesta (UHC), membahas bagaimana mereka mengatasi masalah cakupan kesehatan untuk kelompok populasi yang lebih sulit dijangkau.
  3. Menggambarkan dampak dari pendekatan yang berbeda terhadap kebijakan tenaga kerja, kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi makro juga akan disajikan dan dibahas dalam forum ini.
  4. Mengembangkan perpaduan praktik terbaik global dan mengembangkan beberapa pendekatan langkah demi langkah untuk mengembangkan pilihan dan solusi guna menjangkau masyarakat sector informal.

 

  Peserta

Peserta forum berjumlah sekitar 100 orang, terdiri dari para pengambil kebijakan di tingkat nasional, pemerintah daerah propinsi dan kabupaten, wakil rakyat, lembaga profesi, akademisi, wakil organisasi masyarakat, praktisi BPJS, dengan narasumber JLN countries , dalam dan luar negeri,

  Agenda

29 September – 2 oktober 2013
Royal Ambarrukmo Hotel Jogjakarta
Agenda selengkapnya silahkan 

  Waktu dan Tempat

Forum akan diawali dengan "welcome dinner" pada hari Minggu tanggal 29 September 2013 dilanjutkan dengan Acara Forum Diskusi Senin 30 September 2013 sampai dengan Rabu 2 Oktober 2013 bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo, Kota Yogyakarta. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi sdr. Emy, PPJK Kemenkes (021-5221229, hp 081398149097), Yuni Astuti, Pusat KPMAK FK GM ( 0274-544044 / 631022, HP : 0811283824).