International Seminar

 

International Seminar on

Social determinants of health and Policy Making :
Is there any role for researcher and academic ?

Yogyakarta, 20 February 2012, 08.30 – 12.30

Background

Factors that influence health and quality of life are known as determinants of health. The social, cultural and economic factors that influence health are often described as the social determinants of health [1].

int

 

It is common knowledge that “individuals and their health cannot be understood solely by looking inside their bodies and brains; one must also look inside their communities, their networks, their families and even trajectories of their life. The root of health inequalities is deeply ingrained in our social structures as is illustrated in Figure 1.

“The unequal distribution of power, income, goods, and services, globally and nationally, cause unfairness in circumstances of peoples’ lives – their access to health care, schools, and education, their conditions of work and leisure, their homes, communities, towns, or cities – and their chances of leading a flourishing life. This unequal distribution of health-damaging experiences is the result of a toxic combination of poor social policies, unfair economic arrangements, and bad politics. Together, the structural determinants and conditions of daily life constitute the social determinants of health and are responsible for a major part of health inequities between and within countries”.

The Commission on Social Determinants of Health has called on the World Health Organisation (WHO) and all governments to lead global action on the social determinants of health with the aim of achieving health equity. To implement a social determinant approach, governments need to have setting-specific, timely and relevant evidence on the relationship between determinants and outcomes. Such information is however limited, especially in low- and middle-income countries (LMICs). This calls for more research on social determinants of health and demands capacity-building activities to enable such research.

The aim of the research on social determinants of health is to support health policy change by assembling and promoting effective evidence-based models and practices that address social determinants of health [2].

It is well-known that “the true upstream drivers of health inequities reside in the social, economic and political environments” shaped by respective policies. “Showing how social factors directly shape health outcomes and explain inequities, one can challenge health programmes and policies to tackle the leading causes of ill-health at their roots, even when the causes lie beyond the direct control of the health sector”.

While it might be obvious that poverty is at the root of much of the health problems, it is less obvious how to break the link between poverty and disease. Evidence available to us nowadays provides incomplete explanations and often cannot be applied to resource poor settings, such as health systems of LMICs. The latest WHO report on “Equity, social determinants and public health programmes” clearly shows that the research must lead the way in demonstrating the relevance, feasibility and value of addressing social determinants. The next step is translation of the knowledge into concrete, workable actions through identifying entry-points, establishing cooperation with the key stakeholders and identifying possible sources of resistance or opposition as well as possible sources of support.

This international seminar aims to bring together researchers, academics, decision-makers and other stakeholders for discussing:

  • Social Determinants of Health in policy making,
  • Social Determinants of Health and human resources education
  • Social Determinantsof Health development in international setting.
  • The Indonesian context of the role of researcher and academic in Social Determinants of Health policy making.

Day I - 20 February 2012

08.00 – 08.30

Registration

 

08.30 – 09.00

- Opening Ceremony

- INTREC Activity

 

Dean of Faculty Medicine UGM

Laksono Trisnantoro

09.00 – 09.30

Social Determinants of Health agenda in Indonesia health policy.

Untung Suseno

(Ministry of Health)

09.30 – 10.00

Discussion

Moderator :

 

10.00 – 10.15

Coffee break

 

10.15 – 10.45

International setting of Social Determinantsof Health development

 John Kinsman (University of Umea)

10.45 – 11.15

The role of researcher and academic in Social Determinants of Health policy making

Laksono Trisnantoro (Universitas Gadjah Mada)

11.15– 11.45

Discussion

 

11.45 – 13.00

Future Agenda (in bahasa)

 

13.00

Lunch

 

All the session will be chaired by Mubasysyir Hasan Basri. 

Speaker  are :

  1. Laksono Trisnantoro is Professor in Faculty of Medicine UGM
  2. Untung Suseno is expert  staff of Minister of Health in Financing Expert
  3. John Kinsman is expert in Public Health and Clinical Medicine, UMEA University

Time and Place:

Monday, 20th of February: 08.30 – 12.00
Senate Room. Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada
Jalan Farmako, Bulaksumur Yogyakarta Indonesia.

Participants :

  1. 14 Workinggroups from Faculty Medicine UGM
  2. ISS (INTREC Social Scienctist) Training Workshop Participants
  3. Dean Faculty of Medicine UNS Surakarta 
  4. Dean Faculty of Public Health UNDIP Semarang
  5. Dean Faculty of Medicine UMY, Yogyakarta
  6. Dean Faculty of Medicine UII, Yogyakarta 
  7. Dean Faculty of Medicine UKDW, Yogyakarta

For more further information :
Sdri. Angelina Yusridar / Ratna
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Telp. +62274-549425
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. atau This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

References :

  1. Brunner E, Marmot M: Social organisation, stress and health. In Social determinants of health Second ed. Edited by Marmot M, Wilkinson RG. Oxford University Press; 2006:54-77.
  2. Marmot M: Social determinnats of health inequalities. Lancet 2005, 365 (9464):1099-1104.

 

 

seminar sehari MDG

 

Kepemimpinan Dokter Spesialis Obsgyn dan Dokter Spesialis Anak
Dalam Penurunan Kematian Ibu dan Bayi
dan Modul Pengajaran Kepemimpinan untuk Spesialis

Diselenggarakan dalam rangka
Annual Scientific Meeting Fakultas Kedokteran UGM 2012
Ruang Teater Perpustakaan FK UGM
Rabu 7 Maret 2012 pukul 08.30 – 15.00 WIB

Pengantar

Data terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar kematian ibu di Jawa berada di rumahsakit dan sistem rujukan. Di NTT sedang terjadi proses perpindahan tempat kematian dari rumah ke fasilitas, dan bergerak ke rumahsakit. Keadaan ini menjadikan sebuah tantangan baru untuk usaha penurunan kematian ibu dan bayi. Diperlukan penanganan klinik yang lebih baik di rumahsakit dan di rujukan untuk mempercepat pencapaian MDG.

Dalam konteks ini diperlukan pemikiran baru mengenai peran dan posisi dokter spesialis obgyn dan dokter spesialis anak di dalam strategi pencapaian MDG 4 dan MDG 5. Diharapkan ada dokter spesialis obgyn yang menjadi penanggung jawab klinik untuk kematian ibu di sebuah Kabupaten. Secara teknis kebidanan, dokter spesialis obgyn menjadi pemimpin di lapangan (playing-captain) untuk penurunan kematian ibu. Tim yang dipimpin termasuk dokter spesialis lain yang terkait KIA (misal anastesi dan penyakit dalam), dokter umum di rumahsakit, bidan di rumahsakit, dan perawat rumahsakit. Secara teknis medik bertanggung jawab pada kematian ibu di kabupaten.

Di front penurunan kematian bayi diharapkan ada dokter spesialis anak yang menjadi penanggung-jawab klinik untuk kematian anak di sebuah Kabupaten. Seperti dokter spesialis obgyn, secara teknis kesehatan anak, spesialis anak menjadi pemimpin di lapangan (playing-captain) untuk penurunan kematian bayi. Secara teknis medik bertanggung jawab untuk kematian bayi/anak di kabupaten.

Salah satu tugas penting dari para spesialis adalah memimpin tim teknis pelayanan kesehatan anak di RS PONEK 24 jam dan sistem rujukannya. Kepemimpinan teknis medik ini sangat penting karena evidence di berbagai negara menunjukkan tanpa mutu pelayanan klinik dan rujukan yang baik, penurunan kematian ibu dan bayi akan sulit dicapai.

Tujuan

  1. Membahas strategi luar bisa untuk penurunan kematian ibu dan bayi
  2. Membahas peran SpOG dan SpA dalam penurunan kematian ibu dan bayi serta kepemimpinannya.
  3. Membahas modul untuk mengajarkan kepemimpinan spesialis

Jadwal – Rabu, 7 Maret 2012

Waktu

Agenda

Narasumber

08.30 – 09.00

Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

09.00 – 10.30

Kebijakan Kemenkes dalam penurunan kematian ibu dan bayi dalam konteks pelayanan klinik

dr. Slamet Riyadi Yuwono, M.Kes – Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes RI

 

Moderator :

dr. Ova Emilia, Sp.OG., M.Med.Ed

 

10.30 – 12.00

Kepemimpinan Spesialis

 

 

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

 

Pembahas:

  1. dr. Nurdadi Saleh, Sp.OG dari POGI
  2. dr. Badriul Hegar, Sp.A(K), Ph.D, Ketua IDAI Pusat
  3. dr. Sri Aminah, Sp.A – Direktur RSUD Kota Yogyakarta

 

Moderator :

dr. Andreasta Meliala, Dipl.PH, MAS, M.Kes

 

12.00 – 13.00

ISHOMA

 

13.00 – 15.00

Modul Pengembangan Kepemimpinan Klinik dan hasil pelaksanaannya

  1. dr. Endro Basuki Sp.BS(K)
  2. dr. Wiryawan Manu Sp.BS(K)
  3. dr. Andreasta Meliala, Dipl.PH, MAS, M.Kes

 

Moderator :

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

15.00 – 15.30

POA untuk Pengembangan Leadership Spesialis di MDG 4 dan MDG 5

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D
dr. Ova Emilia,Sp.OG, M.Med.Ed
Prof. dr. HM. Jufrie, Sp.A

 

Notulensi dari kegiatan di atas downloadd

Seminar ini akan disiarkan secara live melalui audio streaming dengan mengakses www.kebijakankesehatanindonesia.net. Untuk live streaming, diskusi dapat dilakukan dengan menghubungi nomor telepon : 0274 – 7470847. Keikutsertaan dengan streaming tanpa dipungut biaya pendaftaran.

Biaya pendaftaran : Rp 250.000 (makan siang, coffee break, dan sertifikat SKP IDI)

Akreditasi IDI :
Peserta      : 12 SKP IDI
Pembicara : 8 SKP IDI
Moderator  : 4 SKP IDI
Panitia       : 2 SKP IDI 

Pendafataran pada:

Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp./Fax. +62274 – 549425 (hunting)
Mobile. +628111498442, email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Seminar Sehari leadership

 

Kepemimpinan Dinas Kesehatan Dalam Penurunan
Kematian Ibu dan Bayi
dan Pelatihan Eksekutif SDM

Diselenggarakan dalam rangka
Annual Scientific Meeting Fakultas Kedokteran UGM 2012
Ruang Senat KPTU lt. 2 FK UGM
Selasa 6 Maret 2012 pukul 08.30 – 16.00 WIB

Pengantar

Di berbagai daerah terjadi kematian absolut ibu yang meningkat tajam. Kematian absolut bayi juga meningkat. Dengan peningkatan ini tentunya sasaran MDG4 dan MDG5 sulit tercapai. Dalam konteks untuk mengatasi tantangan ini perlu ada perubahan luar biasa dalam kebijakan pelayanan dan manajemen KIA yang harus dilakukan di Kabupaten. Cara luar biasa ini berupa strategi yang mencoba mengatasi akar permasalahan kematian ibu dan bayi secara komprehensif.

Dengan cara luar biasa ini (lebih lanjut dapat dibaca di www.kebijakankesehatanindonesia.net) diharapkan di sebuah kabupaten ada kerjasama antara berbagi pihak, antara lain:

  1. sektor pelayanan kesehatan dengan koordinator Dinas Kesehatan Kabupaten yang didukung oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan Kemenkes;
  2. Tenaga ahli pelayanan kesehatan ibu dan anak. Tenaga ahli ini tersusun dari:
    1. tenaga ahli kesehatan masyarakat khususnya ahli perilaku dan ahli kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan;
    2. dokter SpOG dan Dr.SpA dan dokter umum;
    3. bidan
    4. ahli informatika. Tenaga ahli ini dapat berasal dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan bekerja secara bersama; dan
    5. Konsultan manajemen pelayanan yang menguasai manajemen perubahan.

Dalam mengelola jaringan yang kompleks ini diperlukan kepemimpinan Dinas Kesehatan yang baik. Selama ini disadari bahwa belum ada pelatihan kepemimpinan untuk Kepala Dinas Kesehatan secara sistematis. Dengan demikian tantangan penurunan kematian ibu dan bayi ini menjadi fokus pelatihan kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan.

Tujuan

  1. Membahas kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan untuk penurunan kematian ibu dan bayi;
  2. Membahas kepemimpinan Dinas Kesehatan dalam usaha penuruan kematian ibu dan bayi
  3. Membahas evaluasi pelatihan eksekutif untuk Kepala Dinas Kesehatan.

Jadwal – Selasa, 6 Maret 2012

Waktu

Agenda

Narasumber

08.30 – 09.00

Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

 

09.00 – 10.00

Kebijakan Kemenkes dalam penurunan kematian ibu dan bayi

Dr. Slamet Riyadi Yuwono, M.Kes
DirJen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI

Moderator :
dr. Kirana Pritasari, MQIH *)

 

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Strategi Luar biasa penurunan kematian ibu dan bayi dan Kepemimpinan Dinas Kesehatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Pembahas:

Dr. Anung Sugiharto, M.Kes - Kadinkes Prop. Jawa Tengah

Dr. Hartanto M.Kes

Dr. Widodo Djoko Mulyono M.Kes - Direktur RSUD Slawi

Moderator :
dr. Tiara Marthias, MPH 

 

12.30 – 13.30

ISHOMA

 

13.30 – 15.00

Evaluasi Latihan Eksekutif untuk Kepala Dinas Kesehatan

Dr. Tjahjono Kuntjoro, Dr.PH

Pembahas:

Drs. Sulistyono, M.Kes -Kepala Pusat Diklat Aparatur PPSDM Kementerian Kesehatan RI

Moderator:
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

 

15.00 – 16.00

Rencana ke depan untuk Pengembangan Kepemimpinan Kepala Dinas Kesehatan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Notulensi dari kegiatana diatas downloadd

Seminar ini akan disiarkan secara live melalui audio streaming dengan mengakses www.kebijakankesehatanindonesia.net. Untuk live streaming, diskusi dapat dilakukan dengan menghubungi nomor telepon : 0274 – 7470847. Keikutsertaan dengan streaming tanpa dipungut biaya pendaftaran.

Biaya pendaftaran : Rp 250.000 (makan siang, coffee break, dan sertifikat SKP IDI)

Akreditasi IDI :
Peserta      : 12 SKP IDI
Pembicara  : 8 SKP IDI
Moderator  : 2 SKP IDI
Panitia       : 1 SKP IDI

Pendafataran pada:

Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2
Jl. Farmako, Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp./Fax. +62274 – 549425 (hunting)
Mobile. +628111498442, email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

 

Ideologi Jaminan Kesehatan di Indonesia

 

Ideologi Jaminan Kesehatan di Indonesia:
Apakah akan bertabrakan atau seiring dengan
"ideologi" dokter dan rumahsakit?

Kamis, 2 Februari 2012
Pukul 12.00 sampai 14.00 di Gedung Granadi Jakarta
Dapat diikuti melalui audio-streaming di
www.kebijakankesehatanindonesia.net

 UU BPJS atau jaminan kesehatan perlu memasuki pedebatan ideologis yang benar. Diharapkan tidak terjadi perdebatan pro dan kontra yang tidak mendalam. Di Indonesia sudah terlalu sering ada perdebatan yang tidak jelas dengan "parlemen jalanan" yang gaduh. Yang pro dan yang kontra tidak mempunyai argumen teknis yang masuk akal dalam konteks ideologi yang ada. Akibatnya perbedaan antara pro dan kontra tidak jelas secara teknis dan juga ideologis.

Kasus perdebatan Obamacare di Amerika Serikat sampai sekarang masih terus berjalan. Kelompok penentang selalu menggunakan alasan siapa yang akan membayar model kesehatan Obama. Mereka takut akan ada kenaikan pajak orang kaya atau korporasi. Kelompok ini cenderung berada dalam ideologi dimana pemerintah diharapkan minimalis. Sering disebut kelompok neoliberal, walaupun terkadang susah melabelnya. Mereka menganggap ideologi Obama terlalu sosialis, bahkan sebagian cenderung menganggap sebagai komunis. Di Inggris saat terjadi reformasi di tahun 1948, Menteri Kesehatan Inggris (Bevan) menyatakan bahwa reformasi kesehatan tidak mungkin berjalan tanpa dukungan dokter. Artinya: ideologi dokter harus diperhatikan, termasuk pendapatannya.

Diskusi makan siang ini akan membahas aspek ideologi dalam SJSN dan kaitannya dengan rumahsakit dan "ideologi" dokter. Topik-topik yang dibahas adalah:

  1. Apakah ada ideologi di dalam Jaminan Kesehatan di Indonesia?
  2. Apakah Jaminan Kesehatan di Indonesia akan bertabrakan dengan ideologi dokter?
  3. Apakah Jaminan Kesehatan di Indonesia akan menghasilkan pelayanan rumahsakit yang dua lapis: (1) untuk masyarakat miskin; dan (2) untuk masyarakat menengah dan atas.

Pembicara: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Peserta yang diharapkan:

  • Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan
  • Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan
  • Dewan Jaminan Sosial Indonesia
  • PT Askes Indonesia
  • PT Jamsostek Indonesia
  • Mahasiswa S2-S3 FK
  • Ikatan Profesi
  • Konsultan Manajemen
  • Balitbang
  • Para anggota miling-list melalui audio-streaming.
  • Pemerhati kesehatan masyarakat

Biaya mengikuti di venue : Rp.50.000,- sebagai pengganti makan siang. Sedangkan untuk mengikuti audio streaming, tidak dipungut biaya.

Langkah-langkah mengikuti melalui streaming :

  1. Melakukan pendaftaran melalui This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.. Panitia akan mengirimkan materi powerpoint untuk mempermudah peserta mengikuti melalui jarak jauh.
  2. Silakan masuk pada website www.kebijakankesehatanindonesia.net
  3. Pada kanan atas, terdapat kolom audio streaming. Silakan klik tombol play yang ada pada kolom tersebut.
  4. Harap menggunakan headset untuk kualitas suara yang lebih baik.
  5. Untuk berpartisipasi dalam diskusi, menyampaikan opini dan bertanya, silakan menghubungi 021-52962568.

Pendaftaran:
Angelina Yusridar
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/fax. 0274- 549425 (hunting)
Mobile : 08111 498442
Email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Materi Diskusi dapat di Download disini downloadd

Laporan Hari V

 

Laporan Hari V

 

Penutupan dan Pernyataan Bangkok

Pada hari ini PMAC 2012 ditutup dengan membuat pernyataan bersama sebagai berikut:

Pernyataan Bangkok (Bangkok Statement) untuk Pencapaian Universal Coverage.

Kami, Menteri Kesehatan dan peserta Prince Mahidol Award 2012, "Moving Towards Universal Coverage: Health Financing Matter", berkumpul di Bangkok, Thailand pada 24 – 28 Januari 2012 untuk belajar dan berbagi pengalaman antara pemerintah, akademisi, sipil masyarakat, sektor swasta dan mitra pembangunan:

  1. Prihatin dengan situasi dimana 150 juta orang di seluruh dunia menderita kesulitan keuangan yang parah setiap tahun untuk membayar biaya layanan kesehatan yang tinggi, dan 100 juta orang diantaranya terjerumus ke bawah garis kemiskinan karenanya, sehingga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan;
  2. Menyadari cakupan kesehatan universal di mana semua orang dapat menggunakan layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa takut miskin karena pembayaran; adalah instrumen dasar dalam mewujudkan hak atas kesehatan dan kesempatan yang sama oleh semua warga negara;
  3. Mengingatkan kembali adanya bukti global yang mendukung pentingnya cakupan kesehatan universal, khususnya Laporan Kesehatan Dunia dan Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (WHA) 64.9 Mei 2011 mengenai Struktur Pembiayaan Kesehatan Berkelanjutan dan Cakupan Universal Health;
  4. Menyadari manfaat dari cakupan layanan kesehatan universal untuk mendorong ekuitas, meningkatkan kesehatan dan mengurangi kemiskinan terutama kaum miskin dan sektor informal;
  5. Menggarisbawahi kontribusi berharga cakupan kesehatan universal untuk mencapai derajat kesehatan yang berhubungan dengan Millenium Development Goal 1 (memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan); MDG 4 (mengurangi angka kematian anak); MDG 5 (meningkatkan kesehatan ibu); dan MDG 6 (memerangi HIV / AIDS, malaria dan penyakit lainnya);
  6. Menyadari pentingnya sistem kesehatan yang kuat, responsif dan cakupan layanan kesehatan primer yang luas serta bermutu baik untuk pelaksanaan yang efektif dari cakupan kesehatan universal;
  7. Menyadari kebutuhan untuk memperkuat kapasitas lembaga penelitian untuk kebijakan dan sistem kesehatan sehingga dapat menghasilkan bukti untuk pengambil kebijakan, merancang sistem cakupan kesehatan universal, mengevaluasi dan menyesuaikan kebijakan
  8. Menyadari bahwa cakupan kesehatan universal adalah mungkin bahkan pada negara dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah asalkan tersedia komitmen politik dan finansial yang berkelanjutan dan adanya dukungan dari masyarakat luas serta mitra pembangunan internasional.
  9. SETUJU untuk bekerja sama dalam menerjemahkan niat ini ke dalam kebijakan dan tindakan nyata yang menjadikan cakupan kesehatan universal kenyataan bagi semua orang, memastikan kesehatan yang lebih baik bagi semua orang, khususnya mereka yang paling membutuhkannya.
  10. BERKOMITMEN dalam menjadikan Cakupan Kesehatan Universal sebagai agenda nasional dan meneruskannya supaya lebih cepat dibahas di PBB atau di pertemuan pertemuan tingkat tinggi yang akan datang yang berhubungan dengan kesehatan dan / atau pembangunan sosial, termasuk melalui Majelis Umum PBB.

ali ghufron

Prof Ali Ghufron Mukti, Wamenkes RI memberikan paparan di PMAC 2012 

 

 

l4kiri

Laporan Hari IV

 

Laporan hari ke IV

Bismarc atau Beveridge? Pilihan mencapai Universal Coverage

Pada hari ini diskusi dan pemaparan dari para peserta yang cukup menarik adalah mengenai pilihan antara sistem berbasis pajak atau berbasis asuransi. Seperti diketahui secara umum terdapat dua cara untuk mencapai universal coverage yaitu dengan cara menarik pajak dari rakyat dan sebagian dari pajak akan dialokasikan untuk memberikan layanan kesehatan, atau melalui penarikan premi dengan cara memotong gaji. Mekanisme melalui pajak, atau tax based system dipelopori oleh politisi Inggris pada tahun 1945, William Beveridge. Sedangkan mekanisme melalui penarikan premi dipelopori oleh Kanselir Jerman Otto von Bismarc pada tahun 1883.

Peserta dari Taiwan memaparkan bagaimana sistem di Taiwan berbasis Bismarc sejak tahun 1980an. Inggris menggunakan sistem Beveridge, sedangkan sistem di Thailand sebenarnya adalah sistem campuran, sebagian Bismarc sebagian Beveridge. Ketika peserta menanyakan mana yang lebih baik, ternyata jawabannya semuanya baik. Hal ini karena menurut Jui-fen Rachel Lu dari Taiwan, di Taiwan peserta puas, pasien kalau mau boleh langsung ke spesialis asal mau membayar co payment US$10. Di Thailand, peserta miskin dan hampir miskin serta kelompok informal ditanggung negara (lewat model Beveridge) sedangkan kelompok formal ditarik premi (model Bismarc). Ternyata di Thailand program ini cukup "pro poor" artinya mencapai sasaran, dan equity cukup baik. Kesimpulannya, "model untuk mencapai universal coverage yang lebih cocok di negara berkembang adalah model campuran karena biasanya sector informal masih cukup banyak dan sulit untuk menarik premi wajib dari mereka" demikian, Dr Toomas Palu dari Bank Dunia sebagai moderator.

Bagaimana mengukur Keberhasilan Universal Coverage?

Apakah universal coverage berarti semua orang mempunyai kartu asuransi? Ternyata tidak. Dalam diskusi yang dipimpin oleh David B. Evans dari Bank Dunia ini, terdapat banyak indicator sebenarnya untuk menilai keberhasilan Universal Coverage. Pertama setiap orang harus memiliki akses untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Tidak ada gunanya orang memiliki kartu asuransi atau kartu jaminan kalau tidak ada fasilitas kesehatan yang mudah dicapai. Kedua harus ada benefit package yang memadai. Kalau yang dijamin oleh asuransi hal-hal yang remeh dan murah (hanya rawat jalan, tapi tidak menjamin operasi jantung, hemodialisis, atau kanker), dan peserta masih harus membayar out of pocket maka percuma. Yang ketiga adalah seberapa besar cost sharing yang harus dibayar ketika memanfaatkan layanan kesehatan. Semakin sedikit, kalau bisa nol, semakin baik. Secara singkat hal ini dapat digambarkan dengan diagram di bawah ini:

g4

Dengan menggunakan indicator indicator di atas maka barulah dapat disebut Universal Coverage berhasil.

 

l3kiri                                                                              l5

 

Laporan Hari III

 

Laporan Hari III

Pada Kamis 26 Januari 2012 Prince Mahidol Award Conference (PMAC) dibuka secara resmi oleh Putri Mahachakri Sirindorn. Pada kesempatan itu juga dibacakan pidato utama (key note speech) dari pemenang Prince Mahidol Award 2011, Dr. Ruth Bishop, penemu vaksin untuk rotavirus diare. Yang menarik juga ditampilkan key note speech dari Varshaben Jayantibhai Thakor, seorang wanita dari India yang menjadi pelopor pengembangan jaminan kesehatan berbasis masyarakat di India. Ms Thakor hanya berpendidikan lulus SD di negaranya (kelas 7). Namun PMAC memang sengaja mengundangnya untuk memberi inspirasi bahwa seorang wanita sederhana seperti dirinya dapat membuat perubahan bagi masyarakat di pedesaan Gujarat, India. Ms Thakor adalah pelopor program berbasis masyarakat bernama SEWA yaitu semacam koperasi yang salah satu usahanya adalah menyelenggarakan asuransi kesehatan.

Acara dilanjutkan dengan diskusi panel dengan judul "Universal Health Coverage: Utopia or Mirage to Human Development?". Dalam diskusi panel ini dibahas apakah mungkin mencapai UC, apakah UC hanya merupakan fatamorgana (mirage) atau bahkan utopia (khayalan atau cita-cita yang tidak mungkin dicapai) ?. Tentu saja para panelis yang terdiri dari WHO, Bank Dunia, Menteri Kesehatan Vietnam dan Thailand menganggap bahwa UC dapat dicapai.

Memang tidak mungkin mencapai kualitas UC yang sama di semua negara kata wakil Bank Dunia, Daniel Cotlear. Baru-baru ini bank dunia mengadakan survey di 20 negara berkembang mengenai perkembangan UC. Salah satu temuannya adalah setiap negara mempunyai cara dan jalan (path) sendiri-sendiri untuk mencapai UC. Sehingga tidak ada "blue print" atau cetak biru yang sama. Namun tetap ada prinsip-prinsip yang sama yang harus dicapai dalam UC. Wakil dari WHO, Carissa Etiene, mengatakan bahwa bagaimanapun secara umum belanja kesehatan untuk mencapai UC harus cukup. Selain itu, alokasi biaya kesehatan harus dikelola dengan baik. Secara singkat, dalam bahasa Inggris, "More money to health and more health to money". Namun, panelis mengingatkan bahwa dalam membiayai UC sebenarnya tidak harus mahal. Pelajaran dari negara berkembang mengenai bagaimana membiayai kesehatan yang baik tanpa biaya berlebihan (Good Health at Low Cost) sudah diterbitkan di buku yang dapat diungguh di laman ini http://ghlc.lshtm.ac.uk/

Bagaimana Mencari Sumber Dana bagi UC dan Apa Peran Asuransi Swasta?

Tentu saja, untuk mencapai UC tidak hanya diperlukan retorika, komitmen, pernyataan dukungan dan sebagainya. Dalam salah satu diskusi panel dibahas dari mana sumber dananya. Diskusi yang menghadirkan Laos, Gabon dan Korea ini membahas bagaimana menambah alokasi anggaran pemerintah untuk mencapai UC. Laos menambah pajak listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air, Gabon menambahkan biaya dari pulsa telepon genggam, dan Korea dari pajak tembakau dan alcohol (atau yang sering disebut "sin tax"). Ketiga negara tersebut berhasil menambah anggaran untuk jaminan kesehatan dan mengalokasikan sebagian untuk promosi kesehatan (terutama iklan anti rokok).

Pembahas dari Inggris mengomentari cukup tajam mengenai sumber dana yang dapat digali, selain yang sudah dilakukan di negara-negara tersebut di atas. "Sebenarnya perusahaan-perusahaan dan bank-bank besar yang saat ini menjadi penyebab krisis ekonomi dunia harus bertanggung jawab lebih besar. Mereka seharusnya diminta membayar pajak lebih besar, sehingga tidak membebani masyarakat".

Lalu apabila program UC akan diselenggarakan oleh Pemerintah dan dananya adalah dari Pajak, bagaimana asuransi swasta berperan? Pertanyaan ini dijawab oleh salah seorang peserta diskusi panel dari Nepal: boleh dilibatkan namun jangan sampai mendominasi. Dr Ravindra dari Nepal mengutip studi dari para ahli ekonomi kesehatan bahwa "jangan sampai kita meniru apa yang sudah terjadi di Amerika Serikat. Di sana peran asuransi swasta sudah sedemikian besar sehingga sudah sulit dikontrol lagi. Bahkan terdapat bukti bahwa asuransi swasta bukannya mengurangi biaya kesehatan tetapi malah menambahnya". Jadi seberapa besar sebaiknya peran swasta? "Paling banyak, pasar asuransi swasta adalah 15%. Lebih dari itu negara anda berada dalam masalah".

Varshaben Jayantibhai_Thakor

 Varshaben Jayantibhai Thakor,


 wanita sederhana dari India yang memelopori
 asuransi kesehatan masyarakat

 

 

 

 

 

 

3a

Dr Ruth Bishop, Penerima Prince Mahidol Award 2011

3b

Suasana Pembukaan PMAC 2012

 

lk2                                                                                    l4

Laporan hari I

 

Laporan hari I

 

Pencapaian Thailand dalam Universal Coverage

Thailand dianggap yang negara yang memiliki perkembangan cukup baik dalam mencapai UC. Sejak tahun 2002, Thailand telah mencapai Universal Health Coverage untuk seluruh penduduknya. Sebuah perjalanan yang tidak mudah dan penuh tantangan, yang dimulai sejak 27 tahun sebelumnya.

Dalam salah satu presentasinya, pemenang Prince Mahidol Award tahun 2009, Prof. Anne Mills dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris mengatakan bahwa "Thailand mengalami titik balik ketika pada tahun 2002 telah berhasil mengatasi perbedaan dan mencapai kesepakatan untuk mencapai Universal Coverage". Sebelumnya, karena pertentangan kepentingan, Thailand lambat meningkatkan kepesertaan jaminan kesehatan. Namun kemudian, seiring dengan stabilitas politik, Thailand berhasil melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dan membuat program ini menjadi milik bersama. "Kemauan politik adalah aspek yang penting untuk mencapai target Universal Coverage". Selain itu, Anne Mills menekankan pentingnya pemerataan layanan kesehatan di Thailand. "Karena reformasi pembiayaan kesehatan harus seiring (hand in hand) dengan penyediaan layanan kesehatan" tambahnya.

Namun tantangan ke depan masih cukup banyak. Anne Mills memperingatkan bahwa pengendalian biaya adalah tantangan yang tidak akan pernah selesai. Selain itu, Thailand masih harus merangkul sector swasta dalam skema ini. "Sistem jaminan kesehatan yang baik adalah yang membuat orang tidak lagi membedakan mutu layanan kesehatan yang disediakan pemerintah atau swasta. Seperti di Inggris, orang tidak terlalu paham bahwa sebagian besar layanan rawat jalan diselenggarakan oleh swasta namun uangnya berasal dari pemerintah".

Pengalaman Ghana dalam mengimplementasikan Asuransi Kesehatan Nasional

Menarik bahwa dalam salah satu sesi ditampilkan presentasi dari Ghana, Afrika, mengenai pengalamannya menerapkan asuransi kesehatan sosial secara nasional. Ghana termasuk negara berkembang berpenghasilan rendah yang dianggap cukup berhasil karena saat ini telah ada sistem asuransi kesehatan nasional. Sejak tahun 2004 (hampir sama dengan pengesahan SJSN di Indonesia), telah ditetapkan UU yang mengatur sistem asuransi kesehatan sosial. Dengan UU ini semua orang yang berusia 18 tahun ke bawah (48% penduduk) mendapatkan jaminan kesehatan, dan semua orang miskin mendapatkan subsidi pemerintah. Dengan demikian, maka sekitar 70% penduduknya tercakup. Yang menarik, "di daerah pedesaan, karena keterbatasan dokter, maka perawat atau kader terlatih dapat memberikan layanan kesehatan" kata Dr Lutterodt, dari Kemenkes Ghana. Hal ini karena pemerintah Ghana menyadari bahwa penyediaan layanan kesehatan sangat penting dalam mengimplementasikan jaminan kesehatan. "Tidak ada gunanya sistem asuransi kesehatan tersedia tanpa ada petugas kesehatan yang menyediakan layanan tersebut". Sistem pembayaran asuransi sosial di Ghana kepada dokter dan perawat dianggap cukup memuaskan. "Mereka telah digaji oleh negara sehingga mereka wajib menyediakan layanan kesehatan" kata Dr Lutterodt.

Pengalaman dari Thailand dan Ghana tadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Nampaknya banyak yang bisa dipelajari oleh Indonesia, di antaranya bagaimana menyatukan berbagai kepentingan politik dan bagaimana menyediakan pelayanan yang merata, walaupun dengan kualitas terbatas, sampai daerah pedesaan terpencil.

Anne Mills

Prof Anne Mills, London School of Hygiene and Tropical Medicine

Delegasi Indonesiaa

Delegasi Indonesia di PMAC Bangkok 2012

 

navigasi1